Randolph Crump Miller
Miller has been the
most consistent and prolific advocate of the theological approach to religious
education for the latter half of the twentieth century. In his 1950, The Clue to Christian Education, Miller asserted that theology is the clue
to understanding and doing religious education. It is the background and
presupposition of any curriculum.[1]
Setuju dengan Miller
bahwa teologi harus menjadi fondasi dalam proses “berangkat” maupun “menuju”.
Apa yang diperjuangkan Miller, sesungguhnya merupakan
“warisan” penting yang harus dijaga. Terjadinya pergeseran paradigma atau
pergeseran presuposisi tentang Alkitab maka akan mempengaruhi tema-tema
lainnya, seperti, tema Allah, manusia, dosa, keselamatan, gereja, dll. Apa yang
disangksikan Miller, benar. Perhatikanlah, dalam pertengahan abad 20 hingga
kini. Persoalan-persoalan teologis, pada tingkat akademis telah mempengaruhi
praksis. Karena itu, tetap memperhatikan
presuposisi Alkitab dan Allah adalah suatu keharusan. “The concept of God is foundational to any theological framework, with
other doctrines being reflective of the Christian understanding God…the aims of
Christian education is to bring glory to God”.[2]
Dengan menempatkan Allah dalam Alkitab sebagai pusat dan
tujuan pembelajaran maka para pendidik Kristen harus berkonsentrasi pada
Alkitab sebagai isi dan sebagai proses. Sebab Alkitab tidak hanya menuntun orang
menerima keselamatan melainkan juga menuntun orang hidup dalam kebenaran
sebagai kontribusi kepada lingkung di mana berada. Titik awalnya memang
teologis namun hasilnya akan sosiologis, yakni terciptanya masyarakat yang
berkeadilan sosial. II Timoitus 3:16, “segala tulisan yang diilhamkan Allah,
memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki
kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran”.
Ketika orang percaya berada dalam persekutuannya sebagai
orang percaya maka sesungguhnya sedang berada dalam konteks pendidikan. Situasi
Kisah para Rasul 2:42 seperti yang digambarkan oleh Lukas, bahwa “mereka
bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan…”. Persekutuan
Kristen seharusnya ditandai dan dipahami dalam konteks pendidikan (jemaat),
yakni pembelajaran sehingga orang terdidik dalam kebenaran, menyadari
kesalahan, memperbaiki kesalahan, dan dapat membagikan pengalaman sebagai shared praxsis.
[1]http://faculty.fordham.edu/kscott/Theologies%20of%20Religious%20Education.pdf.
Diakes pada tanggal 1 Juli 2016.
[2]
Eleanor, A. Daniel & John W. Wade (ed). Foundation
for Christian Education. (USA: Zondervan Punblishing House, 2007), p. 28
Komentar
Posting Komentar