Gelar Akademik Teologi dan Keabsahan Berbicara Tentang Tuhan. Fenomena dalam Pendidikan Teologi
Academic Degree of Theology and Talking Validity About God
Jika saya melihat ini dalam konteks agama, khususnya
dalam praktik pendidikan agama Kristen, maka dalam konteks PL, nabi memperoleh
dan mendasarkan legalitas bicaranya pada pesan Tuhan atau keabsahan bicara nabi
dalam tradisi kenabian didasarkan, "Tuhan berfirman". Maka semua yg
mendengar menerimanya dan melakukannya. Jaminan keabsahan pesan ternyata tidak
hanya semata-mata pada isi pesan melainkan pada kepribadian nabi. Kedua hal ini
akan mengkarakterisasikan apakah nabi yang bernubuat nabi palsu atau nabi
"tenanan-istilah Jawa, meski bukan yang halus". Dalam PB, para rasul
berbicara karena menyampaikan pesan dan menerima panggilan. Jadi, legalitas
bicaranya berdasarkan pesan yang diterima dan ditandai oleh kepribadian yang
sejalan (konon dalam PL, ada sekolah nabi; untung pengalaman dan tradisi ini
tidak diteruskan, saya sulit mwmbayangkannya jika ada).
Bagaimana dengan sekarang? Fenomena yang kita tangkap
(dapat menggunakan pendekatan fenomenologi) sekarang ini, para peltu berlomba
fenomena ini, maka "belajar teologi". Ini tidak salah. Bila
menganalisis fenomena ini, maka ada sisi positifnya tetapi ada juga negatifnya.
Sisi positifnya (tapi sekaligus negatif) adalah dalam kelas teologi yang saya
ampu, saya mengajukan 2 pertanyaan. Kedua pertanyaan ini saya ajukan kepada
peserta kelas teologi karena pada umumnya adalah jemaat awam yang sudah bekerja
namun ingin belajar; ada juga yang fresh graduate (heterogen). Pertanyaan 1.
Mengapa anda kuliah teologi?, 2. Apakah anda ingin menjadi gembala sidang?
Dari dua pertanyaan ini yang diajukan di 4 tempat yang
berda (4 kelas yang berbeda), maka pertanyaan pertama pada umumnya menjawab,
ingin belajar mendalami Firman Tuhan. Namun, ada dua orang di tempat berbeda
yang menjawab, saya belajar teologi hanya ingin mengajar anak saya (seorang
ibu); yang satunya menjawab saya belajar teologi hanya ingin memastikan bahwa
apa yang dikatakan oleh "mereka", benar atau tidak. Untuk jawaban
nomor 2, jawabannya heterogen. Yang menjawab ya adalah mereka yang fulltimer
atau "pengerja gereja", dan gembala; yang menjawab tidak adalah
jemaat awam yang ingin belajar teologi. Dari pertanyaan nomor satu didapati
tiga jawaban yang berbeda. Jawaban pertama, ingin mendalami. jawaban ini bagus
sekaligus berita buruk. Bagus karena akan menjadi aset bagi gereja dalam
mendukung pelayanan gereja. Namun sekaligus menjadi preseden buruk yakni
tingkat keyakinan jemaat atas dasar kebenaran pesan2 atau khotbah (tafsirnya,
teologinya) rendah. Sebab jika gereja menjalankan tugas pengajaran dengan baik
maka orang awam tidak akan "turun gunung". Sebab pesan yang diterima
meyakinkan dari isi pengajarannya. Jawaban nomor dua semakin menegaskan
preseden buruk pada jawaban nomor satu. Ibu ini menjekaskan bahwa ketika dia
meminta agar anaknya diajari tentang agama, bahkan ia mengatakan bahwa saya
akan hargai waktu kamu namun yang dimintakan tolong pun tak bersedia. Hal
tersebut membuat ibu ini belajar teologi. Jawaban ketiga untuk pertanyaan nomor
satu. Artinya, keyakinan pendengar atau jemaat atas pesan yang didengar rendah
atau tidak meyakinkan. Hal ini mendorong dia mempertanyakan apakah benar bahwa
apa yang disampaikan adalah benar?
Dari uraian di atas maka orang belajar teologi untuk
mendalami FT, memberikan layanan yang berkualitas, tingkat Keyakinan pendengar
atas keabsahan pesan rendah; terakhir, agar apa yang disampaikan dianggap
legal, absah, dll, maka dilegalkan dengan gelar akademik teologi, apakah dengan
cara benar ataukah tidak. Fenomen terakhir ini tidak muncul secara jelas namun
dapat ditangkap melalui, apakah yang bersangkutan ada dalam pengalaman belajar
sesungguhnya ataukah tidak....berlanjut (pertanyaan di atas diajukan pada tahun
2012, 2013, 2014)
Komentar
Posting Komentar