Moralitas sebagai PR Pendidikan
Menurut Sentot Sadono,[1]pendidikan selayaknya dibangun dalam konsep manusia sebagai homo potens yaitu manusia yang sejak
lahir membawa potensi dan bakat dalam dirinya. Pendidikan harus bersifat
membela kebutuhan dan pembangunan kemandirian manusia, membangun keberpihakan
kepada jatidiri manusia. Model pendidikan ini, manusia dipandang sebagai subjek
yang otonom sehingga pendidikan harus berpusat pada peserta didik dan bukan
pada pendidik.
Dalam konteks Indonesia, hal yang paling mendesak untuk
diimplementasikan adalah membuka ruang berpikir yang lebih konstruktif dalam
menanggapi pola pendidikan yang dikerjakan atas bangsa ini yang cenderung
bahkan sudah terbukti melanggar keberadaan manusia sebagai homo potens. Pendidikan harus menjawab bahwa “selain sebagai
makhluk spesifik yang dilengkapi dengan kemampuan-kemampuan biologis dalam
kehidupannya manusia tidak hanya sepenuhnya diprogram oleh kemampuan
biologisnya.
Harus diakui bahwa permasalahan
pendidikan seperti tidak pernah ada
habisnya dan telah membuat para
ahli pendidikan senantiasa mengupayakan sebuah bangunan pendidikan yang lebih
baik, yang tidak
manusia dari kehidupannya
yang adalah seutuhnya sebagai sasaran pendidikan. Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan
bermaksud untuk membantu peserta didik (sebagai manusia utuh) untuk
mengembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Pemahaman pendidik terhadap
hakikat manusia akan membentuk peta tentang karakteristik
manusia yang
akan menjadi landasan dan acuan baginya dalam bersikap, menyusun
strategi, metode dan
teknik, serta memilih pendekatan dan orientasi dalam merancang dan melaksanakan
komunikasi transaksional di dalam interaksi edukatif'.
Dalam sudut pandang Groome,[2] Groome menempatkan agama dalam
konsep transendenitas bahwa tujuan akhir agama bersifat transenden. Ada
kekhususan dalam pendidikan agama yang menyebabkan pendidikan agama memiliki
fungsi yang khusus dalam hubungannya dengan pendidikan umum.
Istilah “pendidikan” dan “agama”
merupakan dua terminologi yang amat penting dalam sudut kehidupan manusia.
Sudut kepentingan “pendidikan” dan “agama” tidak di luar melainkan di dalam
yakni dalam istilah “pendidikan dan agama”. Seperti yang dikemukakan Groome
berkaitan dengan definisi pendidikan (Latin: ducere) sebagai yang menuntun,
mengarahkan, dan membimbing ke luar. Istilah agama pun tidak pernah tercapai
kata mufakat.[3] Ketaktercapaian mufakat berkaitan
dengan istilah agama bukan pada istilah agama itu sendiri melainkan pada para
“pencari definisi”[4] atau yang mendefinisikan. Sebab
para pencari definisi agama mencarinya dalam sudut pandang mereka bukan mencari
apa yang terkandung di dalam apa (agama).
Mempertimbangkan pengertian agama
ini, kegiatan
pendidikan agama adalah memperhatikan secara sengaja dimensi kehidupan yang
transenden yang melaluinya hubungan yang sadar dengan dasar keberadaan yang
paling pokok dipromosikan dan diekspresikan. Pendidikan agama memusatkan
perhatian khususnya pada pemberdayaan orang-orang dalam pencarian mereka pada
hal-hal yang transenden dan dasar keberadaan yang paling pokok. Pendidikan
agama menuntun orang-orang untuk menyadari apa yang telah ditemukan,
berhubungan dengan apa yang telah ditemukan itu, dan mengekspresikan hubungan itu.[5]
Jika memang seluruh pendidikan
pada akhirnya adalah pencapaian hal-hal yang bersifat transenden dan ekspresi
dari pencarian manusia, maka seluruh pendidikan yang baik dapat disebut
bersifat keagamaan. Ada sebuah kebenaran yang mendalam dari kata-kata Whitehead
yang sering dikutip, "Kita dapat puas setidak-tidaknya dengan ringkasan
tujuan pendidikan yang lama yang telah tersebar luas di sepanjang waktu dari
fajar peradaban kita. Inti dari pendidikan adalah bahwa pendidikan bersifat
keagamaan”.
Agama dapat dipercakapkan secara
umum seolah-olah agama adalah fenomena yang tidak historis, tetapi dalam
kenyataannya agama diekspresikan dalam manifestasi-manifestasi historis yang
khusus. Istilah pendidikan agama (religious education) dengan akurat mendeskripsikan investigasi yang umum pada dimensi
kehidupan agama dan pencarian bersama manusia terhadap dasar keberadaan yang
transenden (transcendent
grand of being). Akan
tetapi, jika sebuah komunitas agama menggunakan tradisi miliknya sendiri yang
khusus untuk mensponsori orang-orang dalam pencarian mereka yang bersifat
transenden, jika hubungan yang khusus dengan dasar keberadaan yang transenden
didukung, dan sistem simbol yang khusus ditawarkan untuk mengekspresikan
hubungan itu dalam komunitas, maka kegiatan pendidikan itu harus secara khusus
dihubungkan erat dengan tradisi itu. Karena alasan ini, saya menegaskan bahwa
ketika pendidikan agama dilakukan oleh komunitas Kristen dan dari dalam
komunitas Kristen, istilah yang paling deskriptif untuk memberi namanya adalah
Christian religious education (pendidikan agama Kristen).[6]
Dikatakan, pendidikan yang baik
adalah pendidikan yang bersifat keagamaan. Hal ini harus diterima secara kritis
dalam kerangka konsep “tidak menjadikan pendidikan” sebagai alat “ekspansi agama”[7] (seperti yang terjadi dalam
sejarah gereja, politik sebagai alat ekspansi). Apalagi ketika harus dilihat
dalam konteks, baik budaya, social, dan
lain-lain.
Groome mengungkapkan kesulitan berkaitan dengan “apa yang
sebenarnya dilakukan dalam tindakan mendidik”.[8]
Jika Groome mempertanyakan apa yang dilakukan ketika mendidik maka saya
mempertanyakan mengapa manusia harus dididik? Dan mengapa tindakan mendidik
harus di tempat yang disebut “sekolah”. Apa tujuan manusia dididik? Apakah
hanya untuk mengajari manusia untuk bisa dapat membaca, menulis dan menghitung
(dalam akronim: calistung) agar tidak
disebut buta huruf; untuk memperoleh gelar? Ataukah ada yang paling mendasar
dan hakiki dalam hal pendidikan (mendidik).
Dalam sudut pandang saya, jika hakikat pendidikan hanya dilihat
sebatas calistung kalau sudah bisa
membaca, menulis dan menghitung dapat memberi kontribusi maksimal untuk
masyarakat? Maka apa yang saya pertanyakan kemudian bertalian dengan yang
dipertanyakan Groome, apa yang sebenarnya dilakukan dalam tindakan medidik,
apakah hanya sekedar mengajari peserta didik agar dapat menulis, membaca dan
menghitung. Hal ini harus menjadi perenungan dari pendidik tentang untuk apa
dan bagaimana tindakan mendidik.
Persoalan mendidik tentu tidak sebatas calistung melainkan lebih dari itu. “Nilai”[9]
dalam persoalan moralitas harus menjadi pertimbangan mendasar bagi pendidik. Menurut
”Max Scheler”[10]:
Nilai adalah hal
yang dituju oleh perasaan, yang mewujudkan apriori
emosi. Nilai bukan ide atau cita, melainkan sesuatu yang konkrit yang hanya
dapat dialami dengan jiwa yang bergetar, dengan emosi. Mengalami nilai tidak
sama dengan mengalami secara umum, dalam mendengar, melihat,
mencium dan lain-lainnya. Akal tidak dapat melihat nilai sebab nilai tampil
jikalau ada rasa yang diarahkan kepada sesuatu.
Di konteks hakikat pendidikan agama Kristen, tidakan mendidik
tidak sebatas dapat menghafal jumlah kitab-kitab dalam Alkitab, sepuluh hukum
Allah, tujuh perkataan Tuhan Yesus di kayu salib, atau mungkin mengetahui
posisi kitab dalam urut-urutannya agar tidak salah pada waktu mencari kitab
tertentu. Tidak!. Tidak dalam arti tidak sebatas tindakan demikian melainkan
ada keterlibatan pendidik Kristen dalam tindakan mendidik sehingga mencapai
kedewasaan di dalam Kristus (pada bagian perkembangan iman dalam faith development theory dari James
Fowler yang diulas kembali oleh Groome)[11].
Atau dalam sudut pandang Groome, “kerajaan Allah”[12]
sebagai tujuan dalam pendidikan agama Kristen.[13]
Pendidikan agama Kristen tidak boleh menafikan apalagi menempatkan persoalan
moralitas dalam proses pendidikan.
Dalam konteks ini, pendidikan Kristen dalam misinya tentu harus
memberdayakan setiap anak didik menjadi pribadi yang utuh dengan menjadikan
Kristus pusat dan tujuan pendidikan. Seperti yang dikatakan Peters[14] bahwa misi
harus berpusat pada Kristus (Christosentrally).
Hal serupa juga ditekankan oleh Sidjabat[15] bahwa harus mengikuti gagasan dan teladan Yesus.
Karena itu, tesis dari artikel ini adalah “Kristus sebagai pusat misi
pendidikan Kristen”. Tidak ada tujuan lain dari pendidikan secara umum selain
membuat manusia menjadi makhluk bermartabat pada rasnya dan secara umum membuat
manusia serupa dengan penciptanya dan meneladani penciptanya. Peneladanan ini kemudian tidak
berhenti di dimensi “aku dan Tuhanku” melainkan harus juga ada di dimensi “aku
dan yang lain”. Eksistensi manusia dalam dimensi “aku dan Tuhanku” dan “aku dan
yang lain”, selalu di dalam waktu. Pendidikan Agama Kristen dalam prosesnya,
tentu harus mengarahkan setiap orang (anak) dari dimensi “aku dan Tuhanku”
hingga “aku dan yang lain”.
Persoalan pendidikan dalam waktu
mengemuka ketika manusia berhadapan dengan dunianya dan dengan sesamanya
sebagai subjek yang lain. Dalam berhadapan antara subjek dengan subjek dan
dalam sesama subjek bersama-sama berpikir tentang dunia yang mereka diami maka kemudian
persoalannya tidak lagi bagaimana subjek dengan subjek saling berhubungan
melainkan bersama-sama memikirkan dunia tempat mereka. “Manusia menemukan diri
bersama yang lain, sebagai pusat-pusat yang berotonomi di dalam korelasi”.[16] Hal ini mendorong manusia untuk
mengembangkan diri dan dunia di mana mereka berada. Dalam istilah Heideger
dasein[17]karena “manusia selalu dalam
konteks ‘manusia-di-dunia’”.[18]
Hal mengembangkan diri juga
merupakan kesadaran manusia akan “eksistensinya”[19] sebagai makhluk berpikir. Sebab,
dapatkah kita menolak berpikir dan sadar? Tentu tidak. Keduanya simultan.
Ketika manusia sadar sebagai makhluk berpikir maka manusia mengembangkan segala
hal yang disadarinya. Dalam kesadaran manusia akan pengembangan diri, manusia
mendapati dirinya sebagai yang “unik” dan membedakan dirinya dengan sekelompok
primata. Di sini saya ingin mengatakan bahwa “pendidikan merupakan hasil
kesadaran manusia akan pengembangan diri”. Pengembangan diri ini berlangsung
terus menerus, sejauh yang disadarinya, manusia akan terus mengembangkan diri.
“Manusia makhluk yang dinamis. Dinamika itu berhubungan dengan segala relasinya
yang eksistensial. Manusia maju dengan membangun dirinya”.[20]
Groome mengatakan “pendidikan sama
tuanya dengan kesadaran manusia”.[21] Saya ingin melihat kesadaran yang
dikemukakan Groome lebih jauh. Kesadaran bukan hanya sebatas hal yang natural
dari manusia yang bersifat psikologis semata, misalnya sadar akan meja, kursi,
dan barang benda lainnya. Kesadaran di sini akan membentuk khasanah berpikir
manusia sehingga dapat menarik distansi terhadap apa yang disadari sehingga
dari sana manusia dapat menemukan makna. Jika pendidikan seumur kesadaran
manusia maka pendidikan sebagai hasil sadar manusia akan dirinya dalam
keterhubungan dengan subjek lain (the
others) dengan tujuan membentuk dan membangun dunia manusia. Berarti
keberadaan manusia bukan keberadaan yang “an
sich”, bukan keberadaan tanpa keterlibatan melainkan keberadaan dalam
keterlibatan.
Pendidikan dan persoalan moralitas
(anak) merupakan persoalan yang serius. Sebab ada di dalam proses yang panjang
(proses pendidikan). Katakan saja, sampai si anak menyelesaikan pendidikannya
(konteks formal) dan terlibat dalam masyarakatnya (sebagai praksis),
keterlibatan tersebut tidak sebatas pada sumbangsih dan implemensi akademis
semata-semata melainkan keterlitan diri tersebut akan menunjukkan juga
akstualisasi diri yang telah saling berkelindandan dengan sikap diri, nilai
(agama) yang dianut, pengetahuan, keterampilan, konsep diri, dll. Sehingga
benar apa yang dikatakan “Anton Bakker”[22] dan juga “Adelbert Snidjers”,[23] bahwa dalam terlibatan itu “aku
menjadi aku” dan “engkau menjadi engkau”. “Aku dan engkau” menjadi “kita”.
Artinya, moralitas tidak hanya
untuk dan bagi “diri”. Sehingga “yang lain” melihat-ku dan berkata “dia baik,
dia dermawan, dia tulus” melainkan semua yang melekat yang ditandai dengan
“kepunyaanku sehingga disebut aku baik, aku tulus dan lain-lain” memiliki
keterhubungan dengan yang lain sehingga muncul “kita baik, kita tulus” yang
akhirnya “masyakarat kita baik”. “Pendidikan Agama Kristen sebagai pendidikan
dalam kerlibatan”.[24]
berlanjut di jurnal
[2] Thomas, H.
Groome, Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2011), h. 31
[3] Bandingkan
dengan Alfred North Whitehead, Mencari
Tuhan Sepanjang Zaman, (Bandng: Mizan, 2009), h. 2. Bahwa tidak ada
kesatuan pendapat definisi agama
[4] Wilfred C.
Smith, Memburu Makna Agama, (Bandung:
Mizan, 2004). Dalam istilah Wilfred C. Smith disebut sebagai “pem (mem) buru
makna agama”.
[5]Ibid, h.
32-33
[6]Ibid, h. 34
[7] Juga tidak
berarti bahwa amanat agung Tuhan Yesus dihentikan.
[8] Groome,
ibid, h. 3
[9] Noh Ibrahim
Boiliu, Metode Fenomenologi Eksistensial
sebagai suatu Pendekatan dalam Menganalisis Struktur Eksistensi Manusia. Tesis,
(Surakarta: STT Berita Hidup, 2007). Yang selalu kita ketahui adalah bahwa
nilai selalu ada atau hadir dengan pembawaannya inilah yang disebut Scheler
sebagai benda bernilai. Namun apakah benda bernilai sama dengan nilai? Scheler
berkata tidak. Baginya benda bernilai seperti benda berwarna di mana benda
bernilai membawa nilai dan benda berwarna membawa warna. Nilai merupakan
kualitas yang terwujud dalam benda namun tidak identik dengan benda itu. Pokok
“nilai” kemudian penulisa ulas kembali dalam kaitan dengan dengan Kepemimpinan
dengan judul” Nilai Manusia dalam
Praksis Kepemimpinan. Berdasarkan Kejadian 1:26,27. Jurnal The Way, vol.
02, no 02, 2013, h. 104-115.
[10] Paulus,
Wahana, Nilai Etika Aksiologis,
(Yogyakarta: 2007), h. 26.
[11] Groome,
ibid, h. 95-107. Juga dapat dibandingkan dengan, Agus Cremers (pengalih
bahasa), Teori Perkembangan Kepercayaan.
Karya-karya Penting James W. Fowler, (Yogyakarta: Kanisius, 1995).
[12] Penulis
sedang menyiapkan tema lain berkaitan dengan “Kerajaan Allah sebagai orientasi
Pendidikan Agama Kristen
[13] Groome, h.
49
[16] Anton,
Bakker, Antropologi Metafisik, (Yogyakarta:
Kanisius, 2009), h. 53
[17] Da berarti
di sana dan sein berarti berada.
[18] Adelbert,
Snidjers, Antropologi Filsafat Manusia.
Paradoks dan Seruan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 25
[19] Ibid, h. 14.
Eksistensi (ek= keluar), manusia
keluar dari diri dan terarah/mengarah kepada yang lain.
[20] Ibid, h. 16
[21] Thomas, H.
Groome, Christian Religion Education,
Terj. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), h. 5
[22] Anton Baker,
Antropologi Metafisik, (Yogyakarta:
Kanisius), 2006. Lihat berkaitan dengan “diadakan yang lain” dan “aku
mengadakan yang lain”, n. 38-52
[23] Adelbert,
Snidjers, Antropologi Filsafat Manusia.
Paradoks dan Seruan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007). Lihat berkaitan dengan
“manusia dan sesamanya”.
[24] Sedangkan
mengumpulkan bahan untuk menghadirkan judul “pendidikan sebagai suatu
keterlibatan. Konteks Pendidikan eksistensialis”.
Komentar
Posting Komentar