PLURALISME KEYAKINAN di INDONESIA: TANTANGAN DAN PELUANG BAGI MISI

PLURALISME KEYAKINAN di INDONESIA: TANTANGAN DAN PELUANG BAGI MISI BAGIAN I PLURALISME KEYAKINAN di INDONESIA: TANTANGAN DAN PELUANG BAGI MISI A. Latar Belakang Masalah Pluralisme: peluang ataukah tantang bagi misi menjadi judul makalah ini. Pokok pluralisme diangkat dalam konteks misiologi dalam tindakan bermisi dilatarbelakangi oleh ketersediaan bahan berkaitan dengan pluralisme, yang mana, penulis pernah mengangkatnya dalam Jurnal Stulos dengan judul “Pluralisme Keyakinan dalam Konteks Ke-Indonesiaan”. Karena itu, penulis kemudian memahami kembali pokok pluralisme dalam konteks teologia Misiologi. Penulis berpendapat bahwa, pluralisme keyakinan dapat menjadi tantangan bagi gereja dalam bermisi, namun bisa saja menjadi peluang. Tantangan, karena, pertama, persoalan historis, kedua, SKB tiga menteri tentang kerukunan umat beragama, ketiga, radikalisme agama yang melahirkan ormas-ormas Islam yang ditengarai berkaitan dengan pendekatan terhadap teks kitab suci. Peluang, karena, di tingkat elit tokoh agama atau cendikiwan khususnya NU dan sebagian Muhamadiah juga memiliki pandangan yang pluralis. Misalnya, Gus Dur (alm), Nur Colis Madjid (alm), Anis Baswedan, Komarudin Hidayat, Ulil Abshar Abdalla , Lakpesdam NU , JKT ( Tokoh muda dari NU yg banyak nulis di koran-koran, Koordinator JIL). Konflik-konflik lintas agama seakan berbicara bahwa “tanda dari sebuah perbedaan keyakinan adalah konflik atau perang”. Benar bahwa kita tidak dapat menafikan pluralisme keyakinan di bumi Indonesia. Komarudin Hidaya dalam “Agama dalam Dialog”, berkata bahwa, “secara sosiologis kita sekarang ini berada dalam lingkaran globalisme dan pluralisme etnis, dan agama, suatu keniscayaan sosial antropologis yang harus kita terima”. Benar bahwa ini fakta yang tidak dapat ditepis. Bahkan Komarudian Hidayat memandang hal ini sebagai yang harus direnungkan kembali oleh para teolog, baik Yahudi, Kristen dan Islam dalam mengkaji kembali konsep misionarisme dan konsep monopoli keselamatan eskatologis di luar iman mereka masing-masing. Pemikiran Komarudin Hidayat di atas itulah yang setidak-setidaknya membuat penulis untuk berpandangan bahwa Pluralisme keyakinan bisa menjadi tantang dan bisa juga menjadi peluang. Tantangan karena, atas azas kerukunan dan sikap ketidakmonopolian soteriologitas yang telah dirintas teolog pluralis maka penginjilan diredefinisikan kembali. Peluangnya adalah dalam hubungan yang dialogis tersebut ‘kemungkinan’ untuk memperdengarkan berita keselamatan tersebut, terbuka. B. Pluralisme dalam Sudut Pandang Penulis Pluralisme muncul sebagai suatu bentuk perubahan baik perubahan budaya maupun paradigma. C.A. van Peursen dalam bukunya “Strategi Kebudayaan” mencatat tiga tahap perubahan, yakni alam pikiran mitis, ontologis dan fungsionil. Ketiga tahap ini dalam sudut pandang filsafat (budaya) memberi kontribusi pemikiran dan perenungan sebagai jalan ke pluralisme dan pluralitas agama. Di alam pikiran mitis , manusia menyusun suatu strategi, mengatur hubungan-hubungan antara daya-daya kekuatan alam dan manusia. Sebab mitos memainkan peran penting dalam masyarakat primitif dan berfungsi untuk “menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan gaib, membantu manusia menghayati daya-daya tersebut sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai sukunya.” Artinya mitos menampakan kekuatan-kekuatan, menjamin kekinian dan memberi pengetahuan tentang dunia dan memberi weltanschauung. Prinsipnya adalah “ada sesuatu” yang mana dapat di “raba” melalui lambang-lambang yang oleh M. Eliade, lambang (pohon kehidupan, air tirta, topeng, dll) mengarah ke kekuatan yang ada di atas atau transenden sehingga “sesuatu” itu menimbulkan rasa hormat dan rasa takut penuh kegentaran. Mitos tidak berfungsi untuk memberi informasi. Dari alam pikiran mitis yang ditandai dengan rasa takut terhadap daya-daya yang manusia belum mengambil distansi terhadap segala sesuatu. Peralihan dari mitis ke ontologis ditandai dengan pengambilan distansi terhadap segala sesuatu yang mengitarinya. Dengan pengambilan distansi, manusia keluar dari kungkungan mitos dan mempertanyakan keberadaan “daya-daya” yang menggerakan manusia dan alam, tujuannya adalah untuk mengerti. Tradisi Yunani klasik (kuno) peralihan dari mitis ke ontologis sangat penting, di mulia dari ketertakjuban akan alam raya (para filsuf alam) yang mencari arkhe dari setiap realits dan peralihan tersebut mempengaruhi masyarakat dalam wadah ilmu pengetahuan, baik Barat, Timur, Utara maupun Selatan. Dalam perkembangan selanjutnya, Plato, misalnya dengan konsep filosofis “ide-ide”. Di kemudian hari di dunia Barat (Eropa) kembali mempertanyakan hakekat segala sesuatu, yakni pertanyaan tentang “Ada-nya”, tak pelak Ada-nya Tuhan pun dipertanyakan, apakah monis ataukah pluralis? Pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebagai jalan untuk meretas pengetahuan tentang Ada-nya Tuhan. Alam “pikir” ontologis merupakan suatu bentuk titik terang di mana manusia mencoba mengurai “mitis” yang oleh Max Mueller di sebut “bayangan gelap” dalam konteks bahasa kebudayaan. Manusia tidak hanya hendak mengetahui tentang “Ada” sesuatu melainkan sesuatu itu dipertanyakan, yakni “apa”nya para dewa yang menyangkut kodrat dan keberadaan para dewa. Pertanyan tentang “apa”nya para dewa bukan dalam segi “arogansi” manusia melainkan pertanyaan yang disertai rasa hormat. Van Peursen lalu menegaskan bahwa “hakekat kodrat para dewa disimpulkan melalui jalan argumentasi, sambil terus memeras otak dan ilmu ini pada jaman klasik pun dinamakan theologia”. Dengan mempersoalkan “apa”nya merupakan hal metafisis yang problematik. Sekali lagi van Peursen mengingatkan bahwa dalam mempersoalkan hakekat atau apa-nya para dewa, telah menimbulkan: ...teori-teori theologis yang berbelit-belit. Istilah-istilah yang dipergunakan jelas menonjolkan apa-nya, misalnya “kodrat” (dalam Kristus diri Kristus terdapat dua kodrat) dan “hakekat” (dalam Trinitas terdapat tiga pribadi dalam satu hakekat. Dalam filsafat Tuhan disebut Pengada Tertinggi, yang meliputi segala sesuatu, sebab pertama, dan dasar dunia Catatan bagi “hal besar” yang hendak dibahas, yakni pluralitas agama (teologia agama-agama) maka hal tersebut masuk dalam ranah filsafat agama dan filsafat ketuhanan. Filsafat ketuhanan, istilah van Peursen “filsafat Tuhan” memandang Tuhan sebagai Pengada Tertinggi, Causa Prima atau Penggerak yang Tak Tergerakan. Hal ini nantinya lambat laun akan ditemukan sebagai titik sentral dari pluralisme agama – melepas setiap keunikan agama atau sebutan-sebutan, simbol-simbol masing-masing agama (ada reduksi) sehingga hanya memandang pada Sang Pengada Tertinggi. Kembali pada tiga alam pikir yang sedang dibahas. Kini kita masuk pada tahap fungsionil. Berkaitan dengan istilah ini, van Peursen memang menegaskan bahwa kata ini digunakan khusus untuk kebudayaan modern. Tahap ontologi merupakan tahap pembebasan dari magi dan tahapan fungsionil membebaskan dari substansialisme – Ada. Aspek dari pemikiran fungsionil adalah bagaimana memberi dasar kepada masa kini. Di tahap mitis, daya-daya adikodrati menjamin suksesnya perbuatan-perbuatan namun di tahap fungsionil hal-hal tersebut tidak dihiraukan. Maka masa kini setiap hal harus dipertanggungjawabkan dan harus memberi manfaat. Baik bidang apa saja termasuk teologi erat kaitannya dengan aspek fungsionil yakni apakah memberi arti atau tidak. “Dulu kata-kata seperti “Tuhan”, “kepercayaan”, “kesusilaan”, “kebenaran”, “keindahan” tidak perlu lagi dijelaskan; arti dan daya untuk meyakinkan dengan sendirinya sudah terkandung dalam kata-kata tersebut. Kini kepastian-kepastian serupa rupanya lenyap ... isi kata-kata itu perlu dibuktikan nilainya bagi kita, ... lepas dari diri kita sendiri – “apa”nya tidak diutamakan lagi, melainkan caranya bagaimana arti itu lambat laun nampak dalam hidup kita sehati-hari – bagaimana-nya”. Dalam kaitannya dengan pluralisme agama, pemikiran ini mengetengahkan suatu prinsip bahwa “apa”nya termasuk teologi tidak diutamakan melainkan bagaimana refleksi (teologis) nampak dalam kehidupan sehari-hari. Artinya hal eksklusivitas tidak lagi menjadi hal utama melainkan kehadiran masyarakat (beragama) memberi dampak. Penghalang-penghalang teologis disingkirkan. Perubahan budaya (antropologi budaya) dimaksud di dalamnya terdapat pula perubahan kepercayaan (antropologi agama). Agama tidak hanya dilihat pada tataran mitisnya, ontologisnya melainkan juga dalam tataran fungsionalnya, yakni bagaimana agama dan penganutnya memberi dampak bagi bumi yang didiami yang seyogyanya sangat plural dalam budaya dan keyakinan. Tema pluralisme agama muncul seiring dengan problem pluralitas masyarakat dan juga pluralitas kepercayaan atau agama di bumi seperti yang dinyatakan dalam buku Satu Bumi Banyak Agama karangan Paul Knitter. Di tingkat pluralitas masyarakat dan dengan berkembangnya masyarakat, maka dalam suatu kelompok masyarkat yang dahulunya “homogen” kini berangsur tidak homogen lagi melainkan “heterogen”. Hal ini disebabkan oleh derasnya arus pasar bebas dan turisme sehingga dalam masyarakat yang heterogen (dari berbagai suku dan ras) maka heterogen pula kepercayaan atau agama. Hal ini ditegaskan oleh Waolfhart Pannenberg dalam “Pluralisme Keagamaan dan Klaim Kebenaran yang Saling Bertentangan” bahwa pluralitas dan pergolakan agama merupakan akibat dari komunikasi modern dan pertukaran serta mobilitas antar-budaya dan terjadinya perubahan budaya atau culture change yang mana perubahan itu tidak terjadi secara mendadak dan signifikan melainkan perlahan dan signifikan. Pluralitas atau kemajemukan agama merupakan faktor muncul pluralisme meski tidak menafik kenyataannya dalam alkitab. Fakta tentang keberagaman agama dan kemajemukannya adalah satu hal yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun juga. Dan secara otomatis tiap-tiap agamapun akan bersentuhan dengan agama-agama yang lain. Hans Kung seorang teolog katolik yang radikal dalam tulisan Pinnock mengemukakan, ”Untuk pertama kali dalam sejarah dunia adalah sesuatu yang mustahil bagi satu agama untuk eksis dalam isolasi yang sangat baik dan mengabaikan yang lain.” Kesadaran akan kemajemukan itu tidak hanya sampai pada tingkat mengalami keberadaan agama lain, tetapi juga dituntut untuk membangun hubungan yang baik dan toleransi yang lebih luas. Maka tak terhindarkan lagi seruan-seruan untuk dialog dan membuka hubungan yang lebih luas mulai diperdengungkan. Di Indonesia, secara defakto baik dalam tingkat masyarakat kecil (keluarga) maupun pada tingkat masyarakat luas, realitas fenomena pluralitas agama mudah ditemui. Contohnya, di salah satu gereja di daerah Kabupaten Grobogan – Jawa Tengah, terdapat sebuah keluarga yang berbeda-beda keyakinan (agama) dapat hidup berdampingan. Ayahnya berkeyakinan Muslim yang soleh sedangkan anaknya berkeyakinan Nasrani; di Jakarta, rekan saya, ayah dan ibunya berkeyakinan Kong Hu Cu sedangkan anaknya berkeyakinan Nasrani namun hidup berdampingan. Dari kedua contoh di atas, memang mereka hidup bersama dalam perbedaan. Namun masing-masing tetapi berada pada posisi klaim keabsolutan, ke-eksklusivan maupun kefinalitas Tuhan dalam keyakinan masing-masing. Berkaitan dengan heterogenitas keyakinan tadi, klaim keabsolutan, ke-eksklusivan maupun kefinalitas Tuhan dalam keyakinan masing-masing memang di satu sisi ”sungguh indah sekali” karena dalam satu keluarga dapat hidup rukun dalam kepelbagaian keyakinan” namun tidak menutup kemungkinan munculnya konflik atau ”percikan-percikan api” sehubungan dengan heterogenitas keyakinan tadi. Bahkan mungkin tidak dalam tingkat keluarga melainkan tingkat masyarakat luas. Klaim-klaim terkadang mengarah pada sikap radikalisme yang mana mudah digerakan dan melahirkan perang saudara yang bernuansa agama dan dapat ditunggangi kepentingan-kepentingan politis. Di samping de fakto, secara yuridis, Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 menjamin hal memeluk agama (meski tumpul dalam tataran praksis). Sila I, Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi dasar pemahaman manusia ber-Tuhan dalam keberagaman kepercayaan. Suatu pengakuan adanya Tuhan. Di sini Tuhan sebagai dasar penalaran moral. Maka harus mengiyakan pandangan Drijarkara bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Religi. Sebaliknya menjadi dukungan pengakuan bagi religi yang dipahami tak terpisah dari Tuhan. Dasar yang diletakan di Sila I, bukan dasar yang monis eksklusivistis melainkan plural inklusivistis. Indonesia sebagai negara dengan beragam keyakinan dari agama-agama modern disamping agama-agama suku menjadi tantangan keyakinan yang pluralistik. Sehingga ya atau tidak “prinsip toleransi” beragama menjadi suatu keharusan sebagai jalan menuju kerukunan keragaman beragama. Problem-problem cross religion dirasakan sebagai suatu tantangan yang disebut tantangan pluralisme. Dalam tantangan ini, ada satu keinginan yang boleh kita sebut ”keinginan luhur” dari beberapa teolog yakni ”hidup berdamai atau berdampingan dalam kepelbagaian atau heterogenitas keyakinan” dan berusaha mencari akar permasalahan serta mencarikan solusi atas tantangan pluralisme. Oleh beberapa teolog pendukung, masalah pluralisme kenyataan kemajemukan agama-agama tidak hanya dilihat sebagai kenyataan sosial belaka melainkan sebagai masalah serius yang mengancam unitas agama-agama. Ancaman tersebut adalah ancaman eksklusivitas atau dalam metafor yang digunakan Martin Lukito Sinaga adalah metafor ”penari” dan ”tarian”. Dalam metafor ini, penari harus menari sedemikian rupa dengan teman-temannya sehingga menghasilkan gerak tari yang indah dalam kekompakan dan kebersamaan. Ada kesepakatan gerak dalam tari agar tidak ada yang bergerak diluar gerak tari atau bergerak berlawanan sebab dampak yang muncul dari gerak tari yang berlawanan adalah kekacauan. Prinsip metafor dalam ”penari” dan ”tari” adalah tidak ada yang menganggap diri superior atau yang terbaik dalam kelompok tari tersebut. Artinya agama-agama harus bergerak bersama-sama, tidak menganggap agamanya sebagai agama yang superior alias paling benar atau dalam metafor lain ”anak tunggal ” dan ”anak sulung”. Khususnya dalam Kekristenan, pengakuan akan Kristus tidak harus mengenyahkan dan mengeleminir realitas keyakinan agama lain. Pemikiran ini bersumber pada buku dari Paul Knitter No Other Name? . Disamping itu John Hick dan Paul Knitter bersama-sama menyunting ”Mitos Keunikan Agama Kristen”. Dalam usaha tersebut, tidak hanya bergerak pada tingkat praksis melainkan pada tingkat akademis. Di tingkat akademis teologis disebut studi Teologi Agama-agama atau Teologia Religionum bahkan ada yang mengusulkan bahwa Teologi Agama-agama seyogyanya dimengerti terpisah dengan Ilmu Agama-agama. Sebab teologi Agama-agama di dalamnya memuat refleksi teologis yakni untuk menerima dan mengakui keyakinan lain seperti yang diungkapkan oleh Martin Lukito Sinaga bahwa dalam hubungan dengan agama lain kaum kristiani menerima dan mengakui agama lain dengan seluruh ajarannya selaku agama atau jalan yang benar dan menjadi bagian penting dalam rencana Allah bagi seluruh ciptaan-Nya dengan dasar iman Kristen. Teologi yang mendasari anggapan itu adalah, kurang lebih, dan dengan rincian berbeda, anggapan bahwa agama-agama merupakan ekspresi religiositas umat manusia. Para pendiri agama, seperti Buddha, Yesus, dan Muhammad merupakan genius-genius religius, mereka menghayati dimensi religius secara mendalam. Mereka, mirip dengan orang yang bisa menemukan air di tanah, berakar dalam sungai keilahian mendalam yang mengalir di bawah permukaan dan dari padanya segala ungkapan religiositas manusia hidup. Posisi ini bisa sekaligus berarti melepaskan adanya Allah personal (Frans Magnis Suzeno). BAGIAN II PLURALISME DAN TANTANGAN MISI Dari ”kaki filsafat” dan ”kaki teologis”, teolog-teolog religionum menyusun studi tersebut baik dalam rancang bangun teologi religionum maupun dukungan legal dari gereja. Pergerakan teologi agama-agama dipelopori oleh teolog Roma. Dan Pluralisme dalam teolog Protestan banyak dipacu oleh semangat perubahan yang terjadi dalam pemikiran cendekiawan Katolik. Perubahan pikiran yang terjadi dalam doktrin-doktrin Katolik sendiripun terjadi karena munculnya teolog-teolog Katolik dengan ide-ide dan pemikiran yang baru. Mereka diantaranya adalah Alfred Loisy, George Tyrrel, Josef Mueller dan yang paling terkemuka adalah Karl Rahner, Hans Kung, Raimundo Panikkar, Stanley Samartha dan Paul F. Knitter. Perubahan itu sendiri sangat nampak setelah Konsili Vatikan II. Konsili Vatikan II adalah perubahan paradigma teologi Katolik. Salah satu yang menjadi motor perubahan tersebut adalah Karl Rahner. Dan salah satu sumbangannya yang paling besar bagi teologia religionum Katolik secara khusus muncul pada volume ke 5, dalam esai yang berjudul,” Kekristenan dan Agama-agama non Kristen”. Melalui esai yang ditulis dalam Theological Investigation (Vol.5) Rahner menyodorkan empat tesis yang terkenal yang secara khusus membahas tentang “Anonymous Christians”, yaitu orang-orang yang diselamatkan karena kasih karunia Kristus yang sekalipun tanpa disadari oleh mereka dan merekalah orang Kristen tanpa nama. Dari Konsili Vatikan II, teologi ini mulai meretas jalan dan mencari basis dalam gereja Protestan. Dewan Gereja-gereja se-Dunia resmi didirikan di Amsterdam pada tahun 1948 oleh wakil 147 gereja dari 44 negara. Badan ini terbentuk dari gerakan Konferensi Lausanne, Konferensi Edinburg, dan Konferensi Utretch. Mereka menyebut dirinya sebagai aliran arus utama, yaitu gereja-gereja yang tergabung dalam satu semangat Oekumenisme. Rumusan-rumusan yang dihasilkan biasanya sangat mempengaruhi teologia kaum Protestan terutama kelompok Liberal. Dan Pluralisme juga semakin berkembang untuk membangun pahamnya sehubungan dengan perubahan rumusan teologi dalam sidang-sidang DGD. Perubahan yang paling mendasar dan mendukung perkembangan Pluralisme terjadi pada sidang DGD di Uppsala (1968) dengan tema : Lihatlah Aku Menjadikan Segala Sesuatu Baru! Yang paling penting dan kontroversial adalah Pembaruan Dalam Misi. Pada sidang sebelumnya mereka masih menekankan perlunya memberitakan Injil kepada non Kristen tetapi pada sidang ini hampir tidak disinggung, sebaliknya menekankan pada dimensi “horisontal”, yaitu perdamaian pada umat manusia. Gagasan Karl Rahner tentang Anonymous Christians diterima, akibatnya penekanan pertobatan menjadi kurang penting. Sidang di Uppsala menjadi titik tolak perjumpaan dengan agama-agama lain di dunia bahwa: Pertemuan dengan orang-orang yang berbeda keyakinan atau orang-orang tidak beriman harus memimpin kepada dialog. Dialog Kristen dengan orang tidak seiman menunjukkan bukan suatu penyangkalan mengenai keunikan Yesus dan bukan meniadakan komitmennya sendiri kepada Yesus. Tetapi pendekatan orang Kristen kepada orang yang tidak seiman harus manusiawi, bersifat pribadi, relevan dan rendah hati. Dalam dialog, kita membagi rasa kemanusiaan kita, baik harkat martabatnya dan kejatuhannya, serta mengekspresikan kepedulian kita untuk kemanusiaan.... masing-masing bertemu dan menantang yang lain, bersaksi dari kedalaman keberadaannya kepada kepedulian yang tinggi yang mendatangkan perwujudan perkataan dan perbuatan. Sebagai orang Kristen kita percaya bahwa Kristus berbicara dalam bentuk dialog, menyatakan diri-Nya kepada mereka yang tidak mengenal Dia dan mengkoreksi pengetahuan mereka yang terbatas dan kabur. Dialog dan proklamasi Injil adalah berbeda, tetapi kadang-kadang orang Kristen tidak dapat menempatkan dalam pembukaan dialog dan proklamasi Injil. Dari hasil sidang DGD, tema pemberitaan Injil menjadi dialog bahkan keselamatan manusia dari dosa diganti dengan keselamatan manusia dari penderitaan di dunia. Dari rumusan-rumusan tersebut terlihat denyut nadi dari relativisme. Di mana dosa bukanlah sebuah kesalahan – dosa tetap dosa dan manusia yang telah berdosa butuh penyelamatan. Selepas konferensi Uppsala tahun 1975, C.S. Song kembali merumuskan konsep misi baru yang walaupun banyak pertentangan-pertentangan yang terjadi di sidang Uppsala terutama dari kelompok Injili, namun kaum Pluralis mengambil keuntungan dengan konsep yang lebih luas dalam pandangan teologia mereka. Sidang Uppsala merupakan dasar bagi dukungan teologi bagi mereka. Dari rumusan Sidang Raya DGD kelima di Nairobi, konferensi Bangalore – 1978, kembali menekankan tentang dialog bahwa dialog merupakan perjumpaan sejati bersama orang yang berbeda keyakinan dan bahwa ada jalan lain untuk mengenal kebenaran selain yang telah dipelajari. Agama-agama dan kerukunannya ditengah-tengah kemajemukan dan keunikan agama, memang sangat didukung oleh undang-undang dan kesadaran akan perlunya toleransi. Oleh karena itulah toleransi antar umat beragama di Indonesia sangat tumbuh subur di Indonesia. Namun tolerasi ini yang pada mulanya dalam bentuk dialog lintas agama. Dalam perkembangannya berubah ke arah saling menerima ajaran-ajaran dan mengakuinya sebagai kebenaran yang dari Tuhan dan membuang semua keunikan, keabsolutan, finalitas dari ajaran agama-agama lain. Dan yang lebih ekstrim lagi mereka (yang bersikap: Inklusivisme Relativisme, Akomodasi, Pluralisme) merindukan adanya gerakan untuk menghadirkan konsep agama yang baru yaitu agama bersama (Together Religions) dengan basic theologi adalah “Theologi Religionum.” Perkembangan gerakan theologi religionum di Indonesia yang pesat ini bukan begitu saja berkembang. Tetapi sudah melalui proses waktu 15-20 tahun terakhir ini. Apalagi semakin gencar-gencarnya konflik antara agama yang terjadi di Indonesia, yang menuntut adanya pertemuan-pertemuan antara para pemimpin agama di Indonesia. Membuat para pemikir kristiani untuk mencoba merefleksikan ulang tentang theologi yang tepat pada konteks Indonesia yang majemuk ini. BAGIAN III KESIMPULAN Memperhatikan paradigma pluralisme dan perkembangannya dengan menawarkan pemikiran yang tidak berpusat pada Kristus, maka sebetulnya pluralisme dalam konstelasi teologi (misi) ingin menafikan Kristus secara tidak langsung. Harus diakui dan menjadi ‘mutlak” bahwa dalam teologi Kristen juga teologi misi, tidak ada teologi tanpa Kristus. Kristus menjadi pusat dan sumber teologi. Dengan kata lain, misi berkaitan erat dengan Kristus. Kristus menjadi pusat pemberitaan atau pesan. Dalam misi, Kristuslah yang diwartakan dan harus menjadi “headline”. Tidak mungkin orang bermisi, entah dengan modus apapun tanpa Kristus. Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa “keunikan ke-Kristenan ada pada Kristus”. Tantangan yang terbentang yakni pluralitas keyakinan tidak serta merta membuat orang percaya “mencari jalan tengah (abu-abu)” dalam konteks pewartaan. Daftar Pustaka Bagus Lorens, , Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2007 Boiliu Noh, , Pangantar Filsafat, Diktat, Jakarta: STT Rahmat Emanuel, 2008. Boiliu Noh, , Agama Suku, Diktat. Salatiga: STT Sangkakala, 2006. Costa Gavin D’ . Peny., Mempertimbangkan Kembali Keunikan Agama Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002 Hidayat Komarudin, Agama dalam Dialog: Pluralitas Agama dan Masa depan Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001 Jaiz, Hartono Ahmad, Aliran & Paham Sesat di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002 Knitter Paul, Satu Bumi Banyak Agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006 Lumintang Stefri, Teologi Abu-abu, Malang: Gandum Mas, 2007 Peursen, C. A. van, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2001 Sinaga Martin Lukito, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sosiologi Pendidikan (Ringkasan dari buku Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si)

Psikologi Pendidikan Kristen (Sentot Sadono)