Religiositas Eksistensial Manusia

Mengutip pemikiran Wilfred Cantwell Smith dalam karya James Fowler tentang keyakinan eksistensial. “Keyakinan eksistensial merupakan kemampuan untuk hidup pada suatu taraf yang tidak bersifat duniawi, kemampuan untuk melihat, merasakan dan bertindak dalam suatu dimensi transenden”. Suatu keyakinan yang bersifat personal. Personal bukan berarti lepas dari yang lain. Juga merupakan “suatu kualitas hidup manusia. Dalam situasi yang paling baik, kepercayaan eksistensial, terungkap dalam ketenangan hati dan keberanian, kesetiaan dan sikap melayani; kegembiraan yang tenang, yang menyanggupkan kita untuk merasa kerasan di tengah alam semesta dan menemukan makna hidup di tengah dunia serta dalam kehidupan kita sendiri ; suatu makna yang sangat dalam dan ultimo serta senantiasa stabil, apapun yang terjadi pada atas diri seseorang pada tingkat peristiwa-peristiwa actual.
Iman atau keyakinan eksistensial, tidak hanya bersifat personal, tetapi merupakan suatu kehidupan spiritual yang mendalam, tenang dan teguh ketika dalam situasi apapun. Mencari dan menemukan makna dalam setiap situasi dan peristiwa serta dinamis. Kita mengenalNya sebagai Bapak yang baik. Kebaikan Sang Bapa tidak hanya dari sisi adjectivanya semata: penuh berkat, kasih, pengampunan dan lain-lain. Melainkan juga dari sisi hukuman sebagai yang paradoks dalam diri-Nya.
 Dalam kemanunggalingan, manusia rela menghambakan diri, melepas free willnya, dan egonya sehingga karakter Allah terwujud dalam sikap kebergerejaan dan kebermasyarakatan. Namun, apakah yang akan terjadi bila manusia tidak rela melepas free will-nya?
Dalam mengikatkan diri kepada Allah, manusia masuk dalam pengalaman azasiah religiusnya yang personal. Manusia A menikmati pengalaman itu secara pribadi demikian juga manusia B. Di sini, manusia bergulat dalam imannya secara personal atau secara sendiri tanpa keterlibatan orang lain. Dalam pergulatan iman yang personal ini juga, terletak tanggung jawab iman yang personal (bandingkan tulisan nabi Yehezkiel dalam kitab Yehezkiel 18:10-32. Di ayat 20 ... Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya...).
Sumber mengikatkan diri sama, yakni Allah. Namun, pengalaman itu sangat personal. Manusia A mengalami Yang Maha Kudus, Maha Rahim dalam kesendirian dan akunya. Demikian juga si B. Memang Ia adalah pribadi yang numinous namun dalam kenuminousan-Nya itu terletak ke- tremendum-anNya (menakutkan namun mempesona).
Pengalaman itu muncul oleh karena manusia telah masuk dalam tahap empiris bersama Allah. Contoh biblis yang dijadikan acuan adalah pengalaman Daud bersama YHWH, seperti yang tertulis dalam Mazmur 23:1a: Tuhan adalah gembalaku ...yehovah ra’ah. Pernyataan Daud di dalam teks ini, menarik perhatian untuk dipertanyakan. Apakah yang membuat Daud dapat berkata Yehovah
Gairah untuk kasih, belas kasihan, dan kebaikan adalah gairah untuk Allah. adalah ra’ah-nya atau gembala-nya. Pernyataan Daud dapat dipahami berkaitan dengan pengalamannya bersama Yehovah, di mana Yehovah tampil sebagai pribadi yang: membimbing, mengayomi, menuntun, bahkan menyediakan segala yang dibutuhkannya. Stateman Daud juga selaras dengan pengalaman jasmaniahnya sebagai seorang gembala domba. Daud merasa bahwa “tindakan Yehovah terhadap dirinya seperti atau sebagaimana ia memperlakukan domba-dombanya”. Di sini ada korelasi konsep, antara Daud memperlakukan dombanya, dan Tuhan memperlakukan Daud. Selain kehidupan Daud, kehidupan Abraham juga dapat dijadikan contoh dalam pemikiran yang sederhana ini. Seperti yang dikisahkan dalam Kejadian 22:1-19.
Narasi tentang ”pengujian kepercayaan Abraham” membawa dan menempatkan Abraham pada titik pengalaman spiritual yang personal. Abraham dibawa untuk memahami diri secara otentik (asli) dengan Allah. Di tahap pengalaman spiritual ini, Abraham menapaki tahap penemuan diri (self discovery) secara unik dengan dan di dalam Allah. Allah meminta Abraham mempersembahkan Ishak, putera tunggalnya. Permintaan Allah ini, merupakan permintaan aneh sebab bukan binatang yang diminta seperti lazimnya, melainkan anak manusia. Saat-saat seperti itu, merupakan saat penuh kecemasan, rasa sayang, takut, dan kehilangan menghinggapi Abraham. Abraham diperhadapkan dengan opsi mempersembahkan Ishak, bukti ketaatan pada Allah dan tidak mempersembahkan, sebagai tanda ketidaktaatan. Ini merupakan pilihan paradoksal dari Sang Paradoks, perintah Allah atau menyayangi anak kandung. Dua hal yang sama benarnya. Tentu, tidak ada pilihan abu-abu, yakni diantara kedua opsi. Situasi ini merupakan situasi yang penuh ketegangan (iman). Mengasihi Allah, sebagai tanda hubungan personal dengan Yang Mahakudus dan mengasihi anak, tanda hubungan personal seorang ayah. Dalam ketegangan iman ini, Abraham tidak larut dalam situasi-situasi personal yang semu. Abraham berhasil keluar dari dilema ini, dan membuat keputusan yang personal (sendiri tanpa orang lain). Memang ada Sarah, namun Allah menuntut Abraham untuk menjawab dan bertindak saat itu, tanpa harus ada kompromi dengan Sarah. Keputusan Abraham, melahirkan momentum iman yang personal. Keputusan Abraham, membuat hati Allah puas. Dalam sisi praksisnya (iman), kadangkala, kita sebagai manusia percaya diperhadapkan dengan ketegangan-ketegangan iman yang mana dalam situasi demikian, manusia percaya harus melihatnya sebagai kesempatan melihat tangan Allah bekerja. Bila secara detail mengikuti apa yang dimaui Allah, sudah pasti melahirkan moment-moment iman yang personal (pribadi) dengan Allah. Di sini manusia berjumpa dengan Sang Pencipta, melihat tangan Penciptanya bekerja baginya (manusia percaya). Hanya saja, kadang atau sering, manusia gagal dalam tahap ini, lalu kehilangan moment-moment iman bersama Penciptanya (di tahap ini mungkin ada kekecewaan, negative thinking terhadap Tuhan. Bersikap menyalahkan: Tuhan. Jika Tuhan Ya, maka sesamanya tak terkecualikan.
Apakah yang salah di sini? Mungkin saja manusia percaya tidak mengejar kualitas iman melainkan mengejar fenomena iman. Contoh iman yang berkualitas: mujizat bukan target utama atau goal atau sasaran. Justru mujizat merupakan fenomena iman. demikian, apakah kualitas iman yang dikejar atau fenomena iman yang dikejar?).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sosiologi Pendidikan (Ringkasan dari buku Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si)

Psikologi Pendidikan Kristen (Sentot Sadono)