KASIH: Seruan Paradoksal (Noh Ibrahim Boiliu)




Mat 22:39  Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

  1. Pendahuluan
Perkembangan dunia saat ini bukan menuju pada nilai-nilai etis religius yang diharapakan melainkan berjalan terbalik. Berjalan terbalik bukan dalam arti paradoks (dari istilah Yunani paradoxa; para berarti bertentangan dengan dan  doxa artinya ajaran). Arti luas dari istilah ini adalah suatu pernyataan baik ajaran, keyakinan, konsep dan paham bertentangan dengan pendapat yang diterima atau yang diketahui tetapi mengandung “kemungkinan” kebenaran.
Manusia makhluk paradoksal. Di satu sisi ingin hidup berdampingan penuh kasih dan damai namun di satu sisi dalam waktu tertentu ia menjadi benci, dendam, membunuh, memfitnah dan sebagainya. Ia dapat menunjukkan wajahnya yang penuh kasih namun ia juga dapat menunjukkan wajahnya yang “bengis”. Di dunia/kota metropolitan merupakan tempat yang subur bagi prisip individualism. Hubungan atau relasi manusia yang asazi menjadi suam-suam. Relasi yang kita temukan adalah relasi yang “non asaziah”- relasi bisnis atau relasi apa saja yang tentu berhubungan dengan uang, barang, dan jasa. Itu penting namun tidak hanya terbatas pada hal-hal tertentu. Relasi asazi yang saya maksudkan adalah relasi yang dibangun bukan karena motiv mencari untung yang tidak halal  dengan merugikan sesama melainkan harus saling menguntungkan.
 Keparadoksalan ini berawal ketika manusia telah jatuh dalam dosa. Manusia lalu didorong oleh dua kecenderungan, melakukan kebenaran atau melakukan dosa dan kesalahan. Dalam kitab hakim-hakim tercatat tentang kehidupan iman bangsa Israel. Ketika Tuhan membangkitkan seorang nabi mereka begitu antusias dan percaya kepada Tuhan namun ketika hakim itu mati mereka pun kembali pada kehidupan semula – menyembah berhala. Ini merupakan gambaran mengenai manusia yang paradoksal.

B. Esensi KasihMemahami Kasih dalam Kerangka Manusia Paradoksal.
            Dalam teks yang kita dapat melihat “ajaran dan seruan Yesus” mengenai cara kita memandang dan memperlakukan orang lain. Dalam Hukum Taurat ada dua Hukum Kasih yang harus dilakukan yakni hukum pertama “Kasih Kepada TUHAN SEBAGAI hukum pertama dan terutama. Hukum kasih kedua adalah dan Kasih kepada sesama” (Matius 22:37-39). Kedua hukum saling berhubungan secara “kausal / sebab akibat”. Kausalitas yang ada bukan    temporal melainkan permanent. “"Sebab aku mengasihi TUHAN akibatnya aku mengasihi sesama”. Kasih yang dilakukan dan diberi kepada sesama bukan kasih yang temporal (sewaktu-waktu kalau aku bisa) melainkan permanent (setiap waktu). Mengasihi di sini tidak hanya “aku memberi uangku, bajuku, atau apa saja dalam bentuk materi yang aku punya”. Mengasihi tidak hanya sebatas itu.
            Kasih yang dimaksudkan di sini adalah lebih dari sekedar memberi barang material yang dipunyai. Tetapi perlakukan baik dalam:
  1. Sikap saling menghormati (baik perbedaan dan persamaan pendapat).
  2. Dalam membangun relasi; bukan berdasarkan status social yang disandang atau apa yang “dimiliki” melainkan karena dia adalah “manusia”.
  3. Tidak membenci atau merancangkan yang jahat kepadanya.
Perlakuan yang tidak benar atau sikap tidak “menganggap atau mengwangkan” orang lain akan memunculkan berbagai konflik baik dalam lingkup keluarga dan masyarakat luas  (tempat kerja, tempat pelayanan, dan lain sebagainya). Cara orang “memandang Tuhan harus merupakan pecerminan terhadap diri sebaliknya cara pandang terhadap diri merupakan pencerminan dari cara pandang terhadap Tuhan. Bila cara pandang terhadap Tuhan apapun nilai-nya (value) positif atau negatif akan memiliki dampak dalam memandang diri. Nilai (value) cara pandang terhadap diri akan memiliki dampak terhadap cara memandang sesama. Saya tahu bahwa Tuhan menghargai atau mempercayai saya maka tentu saya (harus) menghargai atau mempercayai orang lain apa adanya. Sebaliknya bila Tuhan (Bapa) tidak dapat dipercaya, jahat, kejam dan lain sebagainya maka “kaca mata” yang sama, yang digunakan untuk memandang Allah (Bapa) tetap akan saya gunakan untuk memandang sesama. Saya yakin bahwa Allah (Bapa) peduli (care) dengan saya maka tentu saya akan peduli dengan orang lain demikian juga sebaliknya. Bila menggunakan kaca mata buram dalam memandang Allah maka orang lain akan menjadi buram ketika memandang mereka.

C. Kasih Direalisasikan dalam Suatu Relasi.
Mengapa paradoks?Ya, manusia itu otonom namun tergantung, bebas namun terikat. Manusia makhluk yang otonom,ia dapat hidup tanpa sesamanya tidak memungkiri kenyataan bahwa ia membutuhkan sesamanya. Betulkah keotonomian mengurangi relasi kepada sesama? Tidak. Sekalipun manusia itu otonom, toh manusia tetap membutuhkan sesama. Jenis relasi manakah yang meniadakan diri sesama sebagai pribadi yang utuh, unik dan otonom dan jenis relasi mana yang mengembangkan diri sesama sebagai pribadi yang utuh dan menarik? Berikut pemikiran mengenai model relasi intersubjektif (hubungan antar manusia karena manusia sebagai subjek):
1.      Relasi “Aku-Itu”. Relasi “Aku-Itu” memperlakukan sesama melulu sebagai objek (kebendaan). Sesamaku kuperlukan sebatas benda saja. Aku menggunakannya sejauh aku butuhkan. Bila aku tidak butuhkan maka aku tidak menggunakannya. Aku hanya menggunakannya sewaktu-waktu aku butuhkan. Aku tidak menghiraukan sesamaku sebagai yang otonom. Sesamaku menjadi sahabatku karena uangnya banyak, kedudukannya tinggi, atau karena kecantikannya?. Kalau uangnya habis atau kecantikannya sirna maka orang itu tidak berguna lagi bagi saya. Jenis relasi ini juga muncul dalam “kebencian”. Sesamaku menjadi ancaman bagiku (homo homini lupus) bagaimana aku menghidarkannya atau menyingkirkannya? Model sikap dan relasi ini sangat dipengaruhi oleh egosentrisme.
2.      Relasi “Aku-Dia”. Dalam relasi “Aku-Dia” sesamaku tidak aku objekan melainkan subjek. Namun, aku netral dan acuh-tak acuh terhadapnya. Aku tidak peduli dengan kebahagian dan kegagalan sesamaku. Aku sibuk dengan urusanku, aku tidak punya waktu untuk sesamaku. Aku tidak mencintai tetapi juga tidak membenci. Dalam model sikap dan relasi ini, kasih akan menjadi suam-suam. Dalam relasi ini pun egosentrime muncul. Mungkin dalam statmen “nikmatilah kebahagiaan dan kegagalanmu; uruslah-urusanmu” dan “aku mengurus kebahagian dan kegagalanku; aku mengurus urusanku”. Artinya aku tidak ada waktu untuk memikirkan dirimu. Semua waktu adalah untuk memikirkan diriku.
3.      Relasi “Aku-Engkau”. Relasi “Aku-Engkau” menunjukkan bagaimana keinginan manusia untuk ber-socia dan ber-socius. Manusia merindukan suatu kesatuan dan kebersamaan yang semakin luas dan semakin mendalam. Sikap pragmatis dalam relasi “Aku-Itu” tidak memadai karena sesamaku diperlakukan sebagai benda. Dalam sikap relasi “Aku-Dia” sikap benci dan sikap acuh tak acuh tak memadai karena menyamakan dan membutuhkan manusia (sesama) sebatas fungsinya. Panggilan yang paradoksal aku temukan dalam relasi “Aku-Engkau” yang bermuara pada cinta sejati. Dalam cinta dua orang bersatu, mereka tetap dua dalam keunikan dan kekhasan masing-masing. Dalam cinta aku dengar dan aku hayati suatu seruan untuk menciptakan suatu iklim yang di dalamnya semua orang menjadi diri atau diwangkan. Dalam kebersamaan penuh cinta aku menjadi aku dan engkau menjadi engkau. Cinta bukanlah suatu aktivitas yang pasif/ dingin/suam-suam belaka, dalam cinta aku keluar dari diriku sendiri (existentia) dan terarah kepada sesama. Diri sesamaku aku hanyati sebagai diri yang bernilai dan berharga karena dirinya sendiri. Motivasi relasiku bukan karena sifat dan fungsi tertentu yang kamu miliki, aku mencintaimu  karena engkau adalah engkau (I love you because you are you) bukan karena kamu cantik, pandai dan punya kedudukan. Cinta membuatku merasa bertanggungjawab. Gabriel Marcel berkata, cinta mengatakan “Engkau tidak boleh mati”. Cinta itu bukan pasif namun kreatif “in my existence, I make the other be and the other makes me be”.  Di dalam hubungan “Aku-Engkau” iri hati berubah menjadi rasa kagum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sosiologi Pendidikan (Ringkasan dari buku Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si)

Psikologi Pendidikan Kristen (Sentot Sadono)