Gereja dan Negara: Dua Entitas yang Berhubungan Secara Inheren
Gereja dan Negara: Dua Entitas yang Berhubungan Secara Inheren[1]
Roma
13:1-7 dan Wahyu 13 merupakan dua ayat
yang paradoks dalam mendasari etika
politik. Para teolog Perjanjian Baru
mengatakan bahwa Roma 13 menyarankan ketaatan kepada semua pemerintah tetapi sebaliknya Wahyu 13 mengatakan bahwa kekaiseran Roma
tidak mewakili Allah tetapi sebaliknya berasal dari iblis (lihat Wenata Sairin
dan J.M Pattiasina: Hubungan Gereja dan Negara dan Hak-hak Asasi Manusia, 1994:87). Dengan adanya kedua ayat Alkitab
yang paradoks ini seringkali terjadi perbedaan pendapat. Ada yang menginginkan
pemisahan gereja-negara tetapi ada yang
sebaliknya.
Apabila
pemisahan ketat diterapkan maka keduanya sama sekali tidak berhubungan. Istilah
pemisahan sebenarnya kurang tepat. Sebab sekalipun keduanya berbeda di dalam
tugas tetapi pada suatu saat akan berhubungan. Masalah yang terjadi dalam
gereja pada lebih kurang abad IV sebenarnya adalah masalah posisi. Sebab jika
berbicara mengenai posisi maka salah satu berada di atas atau lebih tinggi
kedudukannya dari yang lain. Rupa-rupanya ini yang terjadi di dalam gereja.
Oleh karena kedua-duanya merasa memiliki masa maka masing-masing mengklaim diri
lebih dari yang lain sehingga muncul ide gere-negara dan negara-gereja. Seperti
yang tertera di bawah ini bahwa:
Dalam era pertengahan, ada banyak pandangan yang
berebda-beda, tetapi semuanya merupakan variasi-variasi yang menekankan pada
dua tema pokok … Tema yang pertama
adalah Dua Pedang (Two Words), yaitu adanya dua kekuasaan
atau dua ruang lingkup pengaruh yang masing-masing mandiri dalam kenyataan hidup ini. “Dua Pedang” ini
adlah Gereja dan Kekaiseran, yaitu kekuasaan batin dan kekuasaan lahir. Paus
Gelasius I (Paus 492-496) adalah orang yang pertama kali memunculkan ide Dua
Pedang ini. Tetapi juga kedudukan Gereja dianggap lebih di atas Negara dalam arti martabat atau nilai dan kedudukan negara dianggap lebih di
atas dari Gereja dalam arti kekuasaan fisik dan
paksaan walaupun tingkat kekuasaan tepat sama.[2]
Dalam kenyataan historis
yang ada hubungan kedua lembaga ini sering menimbulkan konflik sehingga gereja
cenderung menarik diri dengn tujuan negara tidak mencampuri urusan gereja. Ini
berjalan sesuai dengan pemahaman gereja akan dirinya di mana gereja sebagai lembaga yang Kudus dan am. Dengan demikian
gereja ingin memisahkan diri dari negara. Namun hubungan gereja dan negara
dalam negara Pancasila agak berbeda. Gereja-gereja sepakat untuk mencantumkan
Pancasila sebagai asas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Eka Darmaputera
mengatakan bahwa:
Pada waktu gereja-gereja
mencantumkan Pancasila sebagai asas bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara di dalam Tata Gerejannya, maka saat itu sebenarnya gereja
sudah membuka kemungkinan “campur tangan” negara di dalam urusan-urusan
gerejawi. Menurut UU No. 8/1985 mengenai keormasan, gereja di mata
pemerintah adalah suatu organisasi masa.[3]
Seperti yang dikatakan oleh
Darmaputera bahwa memang agak sulit untuk menentukan hubungan yang pas. Jadi,
sebenarnya masalah yang terjadi dalam gereja pada abad-abad pertengahan bukan
masalah hubungan gereja negara melainkan perebutan posisi atau kedudukan dalam
hal ini kekuasaan. Di bawah ini adalah
hubungan-hubungan yang dibangun antara
gereja dan negara. Pemahaman seperti ini juga mempengaruhi pola pikir beberapa
orang di mana apabila ada orang Kristen yang duduk dalam anggota dewan, maka
akan berasumsi bahwa orang Kristen tidak kalah atau bisa memperjuangkan atau
membawa aspirasi orang Kristen dalam rapat-rapat dewan. Padahal belum tentu
kehadiran anggota dewan dimaksud untuk memperjuangkan, mungkin ada tetapi jika
diurutkan bisa saja bukan pada urutan pertama. Ini sebenarnya adalah suatu
pertimbangan etis. Sebab seorang warga gereja berada di DPR itu berfariasi
motivasi. Gereja perlu menyadari hal ini agar tidak kecewa bila
kepentingan-kepentingan warga gereja tidak diperjuangkan.
Memang
agak sulit untuk menemukan hubungan yang pas (gereja-negara). Jika tidak ada
hubungan yang pas, apakah gereja dan negara dipisahkan secara total atau dengan
kata lain tidak ada hubungan sama sekali? Ada beberapa teori yang akan
digunakan, di mana melalui teori-teori ini kita mencoba untuk mendekati dan
memahami kedua entitas ini. Maksud pendekatan dan pemahaman ini adalah agar
dapat “merumuskan inter-relasi antara agama dan negara sedemikian rupa,
sehingga hubungan antara keduanya
memungkinkan masing-masing melaksanakan fungsinya sebagai negara, dan
agama melaksanakan fungsinya sebagai agama”.[4]Dengan demikian yang satu tidak disubordinasikan terhadap
yang lain. Secara umum ada tiga teori
mengenai relasi agama dan negara, di antaranya:
a.
Teori
Subordinasi[5]
Teori ini
boleh dikata sarat konflik, karena yang
satu diletakan di bawah yang lain atau yang dikenal dengan subordinasi. Mungkin
di negara - negara yang mengenal ‘agama negara-negara agama’ atau yang lazim
disebut dengan ‘state religion’ dan ‘religion state,’ tidak menjadi masalah.
Seperti
yang telah dikatakan di atas bahwa prinsip ini sarat konflik. Sebab Indonesia
memiliki lebih dari satu agama yang berasazkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai
dasar dan tolak ukur maka antara yang satu dengan yang lain tidak boleh
disubordinasikan.
b.
Teori
separasi.[6]
Pada
umumnya teori ini dianut oleh negara-negara demokrasi liberal. Di mana antara
gereja dan negara dipisahkan secara mutlak
dengan asumsi bahwa masing-masing akan mampu melaksanakan fungsinya
dengan sebaik-baiknya dan pontensi konflik pun relatif sedikit. Sekalipun keduanya berebeda namun keduanya mempunyai misi yang sama, yakni
mensejahterakan warganya. Patokan kita bukan pada minimnya masalah atau konflik
namun untuk apa ada pemerintah? Pemerintah ada untuk memerintah, membawa
keadilan dan sekaligus mensejahterakan rakyat. Jika ini tidak tercapai maka apa
yang didengung-dengungkan oleh pemerintah mengenai kesejahteraan hanyalah slogan belaka..
c.
Teori
Koordinasi.[7]
Teori
subordinansi dan separasi harus ditolak sebab tidak mencerminkan asaz bangsa
Indonesia. Kedua lembaga ini otonom di
dalam menjalankan fungsinya. Masing-masing mempunyai fungsi pokok. Seperti yang
sudah dikatakan di atas bahwa sekalipun keduanya berbeda dalam fungsi tetapi
mempunyai misi yang sama pada orang yang sama. “Oleh karena itu, tidak mungkin
dan tidak benar bila harus diseparasikan secara mutlak”[8]
Dari ketiga teori di atas,
pendekatan melalui teroi koordinasi menolong semua umat beragama khususnya umat
Kristiani untuk memahami menjadi paham mengenai hubungan dan adanya
hubungan secara kemitraan antara gereja
dan negara. Kemitraan di sini adalah
kemitraan yang setara, artinya bahwa:
Negara tidak boleh memberikan pilihan kepada suatu
agama atas pihak lainnya. Hal ini merupakan prinsip tentang tidak memihak.
Prinsip tersebut tidak hanya mengatur tentang pendirian gereja-yang
keberadaannya mungkin memunculkan argumentasi logis agar sesuai dengan prinsip
kebebasan-tetapi juga melarang praktek-praktek demikian sebagai
persyaratan yang sah suatu afiliasi
agama tertentu sebagai suatu persyaratan bagi instansi-instansi umum.[9]
Di dalam negara Pancasila,
baik subordinansi maupun separasi mutlak juga ditolak. Penolakan ini misalnya
nyata dalam kesepakatan-kesepakatan berikut ini : (a) bahwa negara Pancasila
bukan negara sekuler (sebab itu separasi total ditolak) dan bukan pula negara
agama (sebab itu ‘subordinansi total’ juga ditolak. (b) bahwa di dalam negara
Pancasila tidak ada ‘negara agama’ (subordinansi negara oleh agama) maupun
‘agama negara’ (subordinansi agama oleh negara). Pancasila memahami hubungan
agama dan negara sebagai hubungan kemitraan yang setara dan timbale. Artinya bahwa negara tidak boleh memihak pada salah satu
agama yang pada akhirnya mensubordinasikan salah satu agama terhadap yang lain.
Sebab negara Pancasila bukan state religion atau religion state.
Teori atau prinsip
koordinasi/kemitraan tidak mudah dalam penerapannya. Bahwa pendekatan melalui prinsip koordinasi tidak
membuat umat Kristiani berbesar hati. Tetapi ini menjadi sulit ketika membuat
suatu identifikasi dalam mayoritas. Maksudnya, secara jumlah umat Kristen adalah
minor. Maka harus diwaspadai sehingga tidak terjadi subordinansi yang
terselubung, ini sulit untuk diidentifikasi. Robert Audi menjelaskan bahwa:
Pilihan-pilihan keagamaan, pemerintahan apapun
untuk suatu agama tertentu, bagaimanapun juga, menciptakan sebagian besar
tendensi bagi kekuasaan yang lebih besar
untuk tumbuh dan berkembang terhadap pengidentifikiasian dengan agama
yang dipilih, khususnya jika menyangkut
pengidentifikiasian terhadap mayoritas warga negara … dominasi kekuasaan
dalam kelompok-kelompok suatu agama dengan mudah merusak demokrasi, yang pada
warga negara harus memiliki kesempatan-kesempatan yang sama untuk memperbutkan kekuasaan politik secara adil.[10]
Di dalam negara Pancasila,
subordinansi dan separasi total memang ditolak. Salah satu point dalam
Inter-Religious Harmony, yakni “Harmony between religious Communities and the
Government (keharmonisan di antara komunitas agama dan pemerintah),”
menyebutkan bahwa:
In the Pancaasila state, subordination and total
separation are also rejected. This rejection ia apparent Indonesia these two
consensus, I.e. (a) that the Pancasila state is nether a seculer state (hence, the idea of a total separation
is rejected), nor a religious state (hence, the idea of a total subordination is also rejected); (b) that Indonesia the
Pancasila state there is neither a ‘religious state’ (subordination of the
state to religion) nor a ‘state religion’ (subordination of religious to the
state)[11]
Bahwa di dalam negara Pancasila, model subordinansi
dan separasi total adalah juga ditolak. Karena total separasi lebih merujuk
pada sekuler sedangkan subordinansi itu, yang satu disubordinasikan terhadap
yang lain seperti: agama - negara (religious - state) adalah subordinansi agama
terhadap negara dan negara – agama (state
– religious) adalah subordinasi negara
terhadap agama.
Oleh karena itu perlu
diwaspadai bahwa ketika pemerintahan dipimpin oleh pemimpin yang tidak menerapkan asaz-asaz demokrasi dengan
baik yakni dengan mensubordinasikan yang lain (secara terselubung) maka akan
merusak demokrasi. Pintu perebutan kekuasaan pun terbuka. Namun yang
disayangkan adalah sebagian umat Kristen merasa riskan dengan politik. Politik
merupakan jalan menuju kekuasaan.
Di
dalam Perjanjian Baru “Agama (Kristen) dan negara merupakan dua fenomena yang berbeda. Orang Kristen (gereja awal)
tidak bernegara dan tidak hidup di dalam satu batas kenegaraan yang sama. Ada
pemisahan antara kekristenan (gereja) dengan “negara”.”[12] Dengan demikian maka
tidak menolong orang Kristen untuk
memahami kontek sosialnya. Ini berbeda dengan Perjanjian lama.
Agama dan negara dalam
konteks PL menyatu dalam satu realitas social. Yahwisme adalah bentuk kehidupan
beragama yang jatuh sama dengan kehidupan social-politik kerajaan di Israel.
Dapat dikatakan bahwa kehidupan bernegara dan beragama terjadi dalam suatu
kesatuan. Di sinilah agama berfungi secara kritis terhadap kehidupan social,
walaupun agama juga bisa mengintegrasikan kehidupan social itu.[13]
Dalam pemahaman semacam ini
hendaknya tidak menarik dan menutup diri terhadap politik. Politik itu baik
jika dijalankan sesuai dengan aturannya.
Satu contoh sejarah di dalam Alkitab, ketika terjadi pembuangan di Babel,
di mana seluruh rakyat dibuang ke Babel maka Yerusalem tidak dapat
melepaskan diri dari kevakuman politik. Ini juga terlihat ketika waktu
pemulangan, terjadinya pro-kontra diantara orang-orang buangan.
[1] Noh, Boiliu, Sikap Etis Politis
Orang Kristen Terhadap Pemerintah Berdasarkan
Roma 13: 1-7, Skripsi, Salatiga:
STT Sangkakala, 2004. Bab 2 dan 4.
[2] Sairin & Pattiasina, ibid
[3] Ibid
[4] _________, Bingkai Teologi; Kerukunan Hidup Umat
Beragama Menurut Pandangan (Kristen) Protestan), (Jakarta: Departemen Agama RI, 1997), hal.38.
[5] Boiliu, Sikap Etis, ibid.
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid, hlm. 39
[9] Robert, Audi, Agama dan Nalar
Sekuler Dalam Masyarakat Liberal, (Yokyakarta : UII Pres), 2002), hal.49.
[10] Ibid, hlm. 54
[11] Bingkai Teologi, ibid, hlm.
92
[12] Sairin, dan Pattiasina, ibid, hlm. 38.
[13] Ibid, hlm, 37
Komentar
Posting Komentar