Tanggapan (saya): Kritik Pazmino Terhadap Paulo Freir


Respons: (Chapter 2 : Foundations of Theological )
Tanggapan: (Bab 2: Landaan Teologis)



Responses to chapter 2, consists of two parts: 1) about the relationship with the theology of Christian education . Where Pazmiño discuss this relationship but not fundamentally not even explain what to do; 2). Pazmiño criticism against Paulo Freire. Pazmiño statement that relates to personal holiness should not be superficial. Pazmiño be positive as well as a point of departure for my view that is contrary to his thinking when he criticizes Freire.


Tanggan untuk bab 2, terdiri atas dua bagian: 1) tentang hubungan teologi dengan pendidikan Kristen. Di mana Pazmino membahas hubungan ini namun tidak mendasar bahkan tidak menjelaskan seperti apa hubungannya; 2). Berkaitan dengan pernyataan Pazmino bahwa kekudusan pribadi janganlah menjadi kekudusan yang dangkal. Point ketiga menjadi hal positif dari Pazmino sekaligus sebagai titik berangkat untuk saya melihat pemikirannya yang bertolak belakang saat ia mengkritik Freire.

Hubungan Teologi dengan Pendidikan Kristen
Setelah membaca dan meringkas bab/bagian 2 tentang landasan teologis (pendidikan Kristen) yang dibangun oleh Pazmino maka di dapati di dalam penjelasannya bahwa tema-tema seperti Alkitab, Allah, Kristus, keselamatan, Roh Kudus, dosa, dan tema-tema teologis lainnya, harus ada di dalam praktik pendidikan (agama)[1] Kristen. Pazmino menekankan hal ini dengan mengutip dari “Sara Little”[2] di mana teologi di tempatkan sebagai pusat dalam kajian dan pelaksanaan pendidikan Kristen.
Karena bagi Pazmino, ada hubungan dialogis antara pendidikan Kristen dengan teologi. Pendidikan Kristen berkontribusi dalam tugas-tugas teologi dan sebalik teologi memberi kontribusi dalam tugas-tugas pedidikan Kristen. Pendidikan Kristen mengeksplorasi teologi sehingga puncaknya pendidikan Kristen berada dalam teologia praktika.
Dalam sudut pandang saya, ketika Pazmino mencoba menjelaskan hubungan pendidikan Kristen dengan teologi adalah tidak mendalam bahkan tidak jelas di bagian manakah kedua studi ini berhubungan, hubungan seperti apa yang harus dibangun (memang sudah disebutkan di halaman 85 bahwa berhubungan secara dialogis namun tidak jelas).
Bagi saya, ketika membahas pendidikan Kristen dan teologi seperti yang dijelaskan Pazmino adalah bahwa jangan terlalu cepat membuat perbedaan antara pendidikan Kristen dengan teologi. Melainkan mengkaji secara mendalam sebutannya seperti yang dilakukan “Groome ketika mengkaji pendidikan agama Kristen dan pendidikan Kristen”.[3]
Pertama-tama, saya setuju dengan Pazmino bahwa pendidikan Kristen ada dalam kajian teologia praktika sebab merupakan (teologia) “terapan”.[4]Teologia terapan berangkat dari teologi murni (dalam hemat saya dan dalam sebutan Aristoteles seabgai theoria). Teologia murni ini kita sebut sebagai teologia biblika.[5] Sebab di dalam kajian teologia Biblika, para teolog Biblika telah bekerja menyediakan bahan-bahan (bahan-bahan ini sudah merupakan hasil yang ada di dalam setiap kitab-kitab dengan pendekatan tafsir) yang nantinya akan digunakan oleh teolog sistematik[6] (dalam membangun doktrin) dan teolog praktika (baik pastoral, misiologi, kepemimpinan Kristen, pendidikan agama Kristen).
Dalam konteks teologia praktika dan dalam tugas penerapan, teologia praktika (bahkan “teologia”[7]) harus membangun hubungan dengan disiplin ilmu lain di luar teologi. Dalam konteks ini, untuk pendidikan, maka teologia praktika membangun hubungan dengan disiplin ilmu pendidikan (nantinya, ilmu pendidikan harus membangun hubungan dengan psikologi-(psikologi) pendidikan…..(tidak diposting). Dalam hemat saya, saya memahami kata “pendidikan” yang ditempatkan sebelum kata “Kristen” tidak dilihat hanya sebagai istilah namun istilah dalam konteks sebagai “disiplin ilmu mandiri”. Ini sama saja ketika kita menyebut istilah “sosiologi pendidikan agama Kristen”, “psikologi PAK”, “filsafat PAK”. Sosiologi, ya, sosiologi sebagai disiplin ilmu; psikologi, ya, psikologi sebagai ilmu, dll. Sedangkan kata “Kristen” mengacu pada “kegiatan” seperti yang dijelaskan Groome.
Maka ketika kita menyebutnya “pendidikan (agama) Kristen”, mengacu pada Groome bahwa “kata Christian mengingatkan kita bahwa kita memiliki kegiatan…”[8] yakni kegiatan keagamaan. Dalam konteks ini, “kegiatan” yang dilaksanakan membutuhkan metode pendekatan sehingga nantinya “kegiatan-kegiatan” dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan target maka harus membangun hubungan dengan disiplin “ilmu pendidikan”. Saya menyebutnya “terjadi perkawinan secara metodik” antara “christian” yang memiliki “kegiatan” dengan “ilmu pendidikan” maka…………TIDAK DIPOSTING……..
[1] Pazmino tidak setuju dengan sebutan pendidikan Kristen melainkan pendidikan agama Kristen.
[2] H, 82
[3] Bandingkan dengan Groome, Pendidikan Agama Kristen, ter. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011, 31-38. Di sana Groome menjelaskan perbedaan definisi dari pendidikan agama (Kristen) dan Pendidikan Kristen, atau religious (bersifat keagamaan) education dan Christian Religious Education. Kata religious muncul dari kata benda religion. Ketika menggunakan kata benda religion maka ada kendala bagaimana mengungkapnya (Cantwel Smith menguraikannya istilah agam secara mendalam dalam bukunya “memburu makna agam, terbitan Mizan). Karena keterbatasan tersebut maka kemudian menggunakan kata sifat religious. Namun sekali lagi, ada persoalan (meski tidak mendasar) dari segi kepraktisan dan keartiskan penyebutan. Menurut Groome, Christian Religious Education atau Pendidikan Agama Kristen terkesan ada penumpukan kata. Maka menurut dia, ia sering menggunakan istilah pendidikan agama atau religious education. Akhirnya, solusi yang lebih nyata adalah menghilangkan kata sifat religious dan menyebut kegiatyan pendidikan yang dilakukan komunitas Kristen sebagai “pendidikan Kristen” atau Christian Education. Tetapi istilah Christian education pun terkesan ada konotasi merendahkan di kalangan Protestan yang berkaitan dengan kegiatan “mengindoktrinasi” anak-anak oleh para pejabat gereja (Menurut Moran). Dengan adanya gerakan oikumenis, Groome berharap gereja Kristen cukup sependapat setidak-tidaknya mengizinkan usaha-usaha pendidikan kita dinamai oleh istilah yang umum “Pendidikan agama Kristen” atau Christian religious education. Meski digunakan, namun Groome memberi catatan bahwa “kata sifat Christian di depan religious education” mengingatkan kita bahwa kita memiliki kegiatan namun hanya sebatas itu (persoalan imperialism Barat); dan kata “religious educatioan” setelah “Christian” mengingatkan kita bahwa pencarian akan yang transenden adalah jauh lebih luas daripada tradisi dan komunitas kita.
[4]Kata terapan ini saya sadari berkaitan dengan isitlah “praxis” dari Aristotele ketika menggambarkan tiga kegiatan yang berbeda, theoria, praxis dan poieia.
[5] Geerhardus, Vos, Biblical Theology. Old and New Testaments, Pennsylvania, Eermands Publishing: 1996, 4. Vos memasukan teologia Biblikal ke dalam teologia eksegesis. Karena menurut Vos, dasar teologia biblical adalah teologia eksegesis. Sehingga nanti dia menyebutnya sebagai cabang dari teologia eksegesis, “biblical theology is that branch of exegetical theology…, 5”
[6] Paul, Enns, The Moody Hand Book of Theology, Chicago: Moody Press, 2010, 19. Enns memahami biblical theology dalam dua cara berbeda, yakni berkaitan dengan gerakan teology biblical (p. 19), dan metodologi (p. 20). Dan bahwa teologia biblika memiliki hubungan dengan teologia eksegesis (p. 21).
[7] Bandingkan dengan, Charles, Hodge, Systematic Theologi. Vol I, Michidan: Grand Rapids, 1940, 17. Hodge mengatakan bahwa “theology a science” sebab “in every science there are twi factor: fact and ideas; or fact and mind. Science is more than knowledge. Knowledge is the persuasion of what is true on adequate evidence”. Bahkan “every science has its own method, determined by its peculiar nature…(18). The two great methods are the a priori and the aposteriori”. Sebetulnya mau menggunakan istilah ilmu teologia namun ada kesan pemborosan atau penumpukan kata. Sebab tidak ada teologia yang tidak ilmu. Logi pada teo sudah menunjukkan hal itu sebagai yang “ilmiah” atau mendekati sesuatu dengan “metode tertentu”. (Ilmu) teologia harus membangun hubungan dengan ilmu-lmu lainnya di luar teologi. Mengapa? Karena persoalan di lapangan “praktika” atau persoalannya adalah di tataran “praksis”. Teologia tidak bisa menggarap tugasnya secara sendiri secara “metodik”. Kata “logi” pada “teo” mengharuskan hubungkan tersebut. Ini dampak dari renaissance, masa kemerdekaan akal. Teologi harus membangun hubungan tetapi hubungan ini adalah hubungan dengan catatan, yakni berhubungan dalam segi metode (shared method) dan bukan isi (konten). Metode sangat dibutuhkan oleh teologi dalam menggarap tugasnya. Misalnya, sumbangsih filsafat bagi teologi dalam hal metode untuk tafsir, metode induktif.
Bandingkan juga dengan, Karl, Barth, Pengantar ke dalam Teologi Berdasarkan Injil, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012, 18-19. Barth mengatakan bahwa teologi merupakan suatu logia, logika, logistic yang dimungkinkan oleh theos.
[8] Groome, 37

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sosiologi Pendidikan (Ringkasan dari buku Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si)

Psikologi Pendidikan Kristen (Sentot Sadono)