Sumbangsih Filsafat Pendidikan Esensialis bagi Pendidikan Agama Kristen





Pendahuluan

Jika filsafat esensialisme diadaptasikan dalam teori pendidikan dan juga teori belajar maka bagi pihak yang membahas materi pelajaran dapat mempertimbangkan kebutuhan siswa untuk dapat hidup produktif. Materi pelajaran tersebut bebas dari spekulasi dan perdebatan serta bebas dari bias politik dan agama.

Secara umum esensialisme adalah model pendidikan transmisi yang bertujuan untuk membiasakan siswa hidup dalam masyarakat masa kini. Konsep dasar pendidikan esensialisme adalah bagaimana menyusun dan menerapkan program-program esensialis di sekolah-sekolah.



Teori Pendidikan Esensialis yang Korelatif-aplikatif dalam PAK

Untuk bagian ini memang membutuhkan suatu sikap yang tegas dalam artian apakah harus “integrasi atau disintegrasi”[1] antara teori pendidikan esensialis dengan PAK. Saya menyadari sepenuhnya akan perbedaan pendapat seputar hal ini. Namun mengingat keterbatasan “ruang” maka saya memutuskan untuk melihat kedua hal ini dalam konteks keterhubungan metode dan bukan konten. Artinya, PAK yang nantinya dalam tulisan ini akan mencoba melihat prinsip pendidikan esensialis untuk selanjutnya melihat korelasinya dengan PAK. Sebab tidak mungkin integrasi isi atau konten sebab berbeda dalam sumber atau dasar konten. Hanya saja filsafat dan pendidikan menyediakan metode bagi PAK.

Dalam mencari hubungan yang korelatif-aplikatif antara esensialisme Pendidikan Agama Kristen, maka saya memulainya dari pemikiran bahwa, E.G. Homrighausen dan I.H. Enklar membangun sebuah kesepahaman melihat pendidikan agama yang berkembang di dunia Barat, tidak tepat dalam penggunaan istilahnya, khususnya di Indonesia sebagai konteks yang pluralistik ini. Kesepahaman yang dibangun E.G. Homrighausen dan I.H. Enklar tentang pendidikan Kristen atau Pendidikan Agama Kristen tersebut cenderung melihat pada sisi kejelasan dan ketegasan nilai pendidikan agama yang dibangun, yaitu Pendidikan Agama Kristen, bukan agama yang lain.

Dalam ulasannya, B.S Sidjabat[2] menanggapi arah pendidikan Kristen, mengatakan bahwa "Pendidikan Kristen merupakan upaya ilahi dan manusiawi dilakukan secara bersahaja dan berkesinambungan untuk memberikan pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, keterampilan, sensitivitas, tingkah laku yang konsisten dengan iman Kristen.

Dalam bukunya, Sentot Sadono,[3] kebanyakan dari mereka merasa jenuh dengan proses pendidikan yang mereka kerjakan. Alasan mendasarnya adalah mereka menemukan diri mereka sedang stagnan dan mengerjakan sesuatu yang monoton dari hari ke sehari dalam tanggung jawab pendidikan mereka.

Sungguh suatu alasan yang seharusnya tidak pernah terjadi dalam panggilan hidup sebagai pendidik. Howard Hendricks dalam Sadono, dalam bukunya Teaching to Change Lives menegaskan bahwa, "the effective teacher always teach from the overflow of a full life. The law of the teacher, simply stated, is this: If you stop growing today you stop teaching tomorrow”.[4]

Karena itu, berdasarkan prinsip pendidikan esensialis yang dikemukakan Kneller dan Knight, maka akan dilihat korelasi yang aplikatif dari esensialis dalam PAK. Kneller maupun Knight masing-masing mencatat tiga prinsip yang intinya sama, seperti bagan di bawah ini.

No
George Kneller
George Knight
1
Menjelaskan kembali pokok-pokok kurikulum - reexmaning curricular matters
Tugas pertama sekolah adalah mengajarkan pengetahuan dasar -The school’s firt task is to teach basic knowledge
2
Membedakan yang mendasar dan tidak mendasar dalam program-program sekolah-distinguishing the essential and the nonessential in school programs
Belajar adalah pekerjaan yang berat dan butuh disiplin- Learning is hard work and requires disiplin
3
Membangun kembali otoritas guru di kelas- reestablishing the authority of the teacher in the classroom
Guru adalah wadah atau tempat dari otoritas kelas- The teacher is the locus of classroom authority


Ketiga prinsip esensialis ini dalam tataran praksis PAK akan ditinjau dalam dua segi yakni pendidikan formal (yakni PAK) dan gereja (lokal). Karena itu sebelum masuk pada penjelasannya saya ingin mengetengahkan landasan berpikir teologis (teologi pendidikan dalam sudut pandang prinsip esensialis).

Tujuan umum pelayanan pendidikan gereja adalah bahwa semua orang tahu, dan mengembangkan kehidupan rohani yang dinamis, hubungan pribadi dengan Allah yang bertumbuh (Yohanes 17:3) dan ciptaan Tuhan. Pengetahuan ini dan hubungan harus didasarkan pada wahyu Allah dan keterbukaan diri dalam Kitab Suci dan berpusat sepenuhnya dan tegas dalam Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat (Yohanes 14:6; 17:07;. 2 Tim 3:16). Orang dari segala usia diaktifkan oleh Roh Kudus untuk merespon dalam iman, kasih, dan ketaatan sehingga masing-masing terus tumbuh sebagai anggota dari komunitas Kristen dan hidup di dunia sebagai wakil Kristus, sementara patuh dengan harapan kedatanganNya yang kedua. Tujuan pelayanan pendidikan adalah bahwa orang-orang menjadi murid  Yesus Kristus (Matius 28:18-20), mempersiapkan diri untuk pekerjaan pelayanan dan sesuai untuk semakin serupa dengan Kristus (Efesus 4:11-16).

Ada perspektif diperluas di mana pusat-pusat pendidikan Kristen di kedua Firman Allah yang hidup (Kristus) dan Firman Allah yang tertulis (Alkitab). Hal ini dapat mengurangi bahaya untuk gagal menghubungkan isi Alkitab dengan Kristus yang hidup dan kehidupan orang.

Pendidikan Kristen haruslah berpusat pada Allah atau boleh kita katakan metafisika pendidikan Kristen berpusat pada Allah, karena itu:

Kurikulum. Seperti yang disampaikan oleh Kenneth O. Gangel dalam esaynya “the definitive chracter of Christian Education” bahwa “education for the early Hebrews focused on learning about God”.[5] Ini berarti desain kurikulum juga harus berpusat pada Allah. Kurikulum tentu berkaitan dengan bagaimana mendesain materi secara sistematis agar murid dapat mengerti (tentu dengan metode yang sesuai). Dari sisi ini, sumbangsih yang diberikan esensialisme bagi PAK adalah:

Alkitab sebagai sumber utama PAK. Jika kita mengiyakan pernyataan Alkitab sebagai sumber PAK, maka dibutuhkan kedisiplinan dalam mempelajari dan menerapkannya. Dari segi pendidikan formal Kristen, desain kurikulum harus terformat dengan baik agar membentuk murid yang disiplin dalam belajar. Pada tingkat gereja (local), desainya pun haruslah mendasar. Contoh di bawah inipun sudah termasuk di dalamnya tentang penguatan intelektual.

Misalnya: untuk tingkat mendasar (basic) kurikulum didesain seperti:

Pengetahuan Alkitab:

Standar Kompetensi: memiliki wawasan dan pengetahuan tentang alkitab, baik latarbelakang kitab, tujuan kitab, tema kitab, dll

Kompetensi dasar: mengetahui dan memahami latar belakang, tujuan dan tema kitab; memahami dan menerapkan materi yang telah dipelajari

Pokok-pokok doktrinal

Standar Kompetensi: memiliki wawasan dan pengetahun tentang pokok doktrin Kristen

Kompetensi dasar: mengetahui dan memperlihatkan keyakinannya tentang doktrin Kristen (misalnya: Kristus, dosa, dll)

Filsafat esensialisme menekankan keunggulan akademis, penguatan intelek, serta transmisi dan asimilasi dari sekaian mata pelajaran yang wajib sifatnya”. Esensialis percaya bahwa ada inti umum pengetahuan yang perlu sampaikan kepada siswa dalam cara yang sistematis dan penuh disiplin. Dari segi akademis atau penguatan intelek adalah pada sisi desain kurikulum baik di tingkat formal

Guru. Para esensialistik berpandangan bahwa “pendidik teladan adalah seorang yang mengerti kesusastraan dan ilmu pengetahun, yang mengikuti perkembangan zaman modern dan yang telah mencapai tingkat seorang ahli dalam kompetensinya”. Pemikiran ini khas  idealistik. Guru dipandang sebagai “knower and thinker atau guru menjadi rule model bagi murid. Disamping guru menjadi rule model-nya murid, para esensialitik juga tidak menafikan bahwa “peserta didik dipandang sebagai makhluk rasional yang menguasai fakta-fakta esensial dan keterampilan yang menunjang disiplin intelektualnya dalam rangka menyesuaikan diri dengan lingkungan secara fisik dan sosial”.

Dari pemikiran Knight dan Kneller, guru memainkan peran penting seperti yang disebutkan pada point ketiga yakni “teacher is the locus of classroom authority” atau “reestablishing the authority of the teacher in the classroom.

Dalam korelasi-aplikatif ini, guru Kristen adalah model berharga bagi murid (juga jemaat di tingkat gereja lokal) bahwa Kristus adalah kenyataan hidup dalam hidupnya (1 Korintus 11:1). Alkitab mengajarkan dan menekankan hubungan pribadi antara guru dan murid. Kebenaran yang diajarkan melalui materi dan kehidupan akan memberikan pengaruh yang besar. Kompetensi dan keunggulan diperlukan dalam usaha mereka untuk mencerminkan teladan Kristen.

Kristus sebagai guru telah menjadikan dirinya sebagai role model bagi murid-murid-Nya. Ia menjadikan diriNya sebagai pusat bahkan di dalamnya kita dapat melihat dan meniru sikap kedisiplinan Yesus. Misalnya, Yesus secara kontinyu dan penuh disiplin, “pada waktu pagi-pagi benar, Ia berdoa”; Ia disiplin dalam melakukan penginjilan, Ia disiplin dalam mengajar dan memuridkan murid-murid-Nya.

Karena itu, guru harus tahu apa yang ia akan ajarkan, pengetahuan yang sempurna harus berdampak pula pada pengajaran yang sempurna. Reaksi awal yang harus dibangun adalah pertama-tama tentu memberatkan kepada posisi guru yang bersangkutan. Guru bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kompetensi dirinya, keahlian dirinya, serta segala hal menyangkut kesiapan dirinya baik mental maupun spiritualnya. Maka dari itu, seorang guru harus bijak membangun kapasitas hidupnya, seperti apa yang Howard Hendricks pikirkan dalam perjalananan kehidupan seorang guru yaitu, "think of this way, as lona as you live, you learn; and as long as you learn, you live.

Penilaian. Dengan memperhatikan penilaian dalam konteks pendidikan esensialis, Penilaian cenderung mengambil bentuk nilai angka, kertas penilaian, uji standar, rapor, dan penilaian guru untuk kemajuan murid. Penilaian dalam sudut pandang esensialis seperti perencanaan, sebagian besar di tangan guru dan atau di tangan orang-orang yang berkompeten lainnya. Meskipun penilaian formatif dapat dan sering berperan dalam evaluasi dan diagnosis, penekanan ditempatkan pada penilaian sumative mulai dari akhir. Ini berarti bahwa pendidikan esensialis tidak hanya mengarahkan murid untuk belajar secara disiplin tetapi juga guru dan orang-orang atau pihak-pihak yang berkompeten atau expert dituntut suatu kedisiplinan dalam penilaian atau assessment. gerakan standar masa kini dan dorongan untuk menguji semua anak adalah bukti pengaruh pendidikan esensialis.

Dalam korelasi-aplikatifnya, untuk pendidikan formal, sekolah dapat menerapakannya secara utuh. Maksudnya adalah, range penilaian harus dibuat atau ditentukan, harus ada portofolionya, dan guru harus membuat penilaian berkaitan dengan perkembangan belajar murid. Persoalan yang muncul adalah guru tidak jujur dalam penilaian atau guru tidak disiplin dalam melakukan penilaian. Tentu ini akan mencapai tujuan yang ditentukan.

 Dalam konteks praksis (gereja), Yesus telah memberikan contoh tentang hal penilaian. Meski Yesus tidak membuat range nilai (secara tertulis), dll namun Yesus telah membuat penilaian berkaitan dengan perkembangan spritual yang dalam hal ini Yesus menggunakan metode pemuridan. Sebagai contoh, dalam catatan Injil sinoptik, Yesus berkata kepada murid-muridNya, “jenis ini hanya dapat diusir dengan doa dan puasa” atau “hai kalian orang-orang yang kurang iman”. Yesus sebagai guru bagi murid-muridNya tahu perkembangan dan pertumbuhan spiritual mruid-muridNya.

            Dengan memperhatikan kurikulum, manajemen kelas, metode, guru dan penilaian maka semuanya ada dalam proses pendidikan. Proses pendidikan yang berkualitas (mengikuti setiap tahap-tahap manajerial pendidikan yang benar, mulai dari penerimaan, proses dan keluaran) akan menghasilkan keluaran atau out put yang berkualitas.

            Bagi kita, dan dalam lingkup Pendidikan Kristen, mendengar pendidikan yang berkualitas mungkin kita mengaitkannya dengan lembaga-lembaga pendidikan Kristen yang sudah punya “nama” atau sudah lama “berdiri”. Dalam hemat penulis, berkualitas atau tidak bukan pada “lamanya” melainkan pada proses pendidikan yakni proses manajerial. Proses manajerial yang baik menuntut penyelenggara menerapkan prinsip-prinsip manajemen, misalnya dalam konteks kini adalah penerapan Total Quality Management in Education.[6] Ini penting jika ingin menghasil keluaran yang berkualitas.

Lulusan  dapat  dipahami  sebagai  kastemer  primer  yang  telah  memahami  dan mangahayati sekolah secara utuh.  Jasa sekolah dikelompokkan atas lima komponen[7] utama yakni:

-        Jasa kurikuler

-        Jasa administrasi

-        Jasa kebijakan

-        Jasa ekstrakurikuler

-        Jasa penelitian




[1] Tentu akan sangat terbantuk dengan esay dari James Riley Estep Jr,  dalam, A Theology for Christian Education, Neshville: B & H Publishing Group, 1984. In chapter 2, What Makes Education Christian?

[2] B.S. Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen, Yogyakarta: Yayasan Andi Offset, h. 81

[3] Sentot Sadono, Psikologi Pendidikn Agama Kristen, Semarang: Sekolah Tinggi Teologi Baptis, 2011, h. 60-61

[4] Howard, Hendricks, Teaching to Change Lives, Colorado: Multnomah Books, 1987, p. 17

[5] Robert E. Clark, Lin Johnson, Allyn K. Sloat (ed), Christain Education. Foundations for the Future, Chichago: Moody Publishers, 2014, p. 15

[6] Noh, Boiliu, TQM dalam Pendidikan Kristen. Jurnal Stulos, STT Bandung. Bagian abstrak: Dunia pendidikan harus menyambut baik dan menerapkan TQM dalam pendidikan sebagai bagian dari keinginan pencapaian mutu baik oleh internal customer maupun external customer. Di mana mutu sebagai “subjek” yang diacu dan dikontrol. Hal ini tentu dapat ditempuh dengan menerapkan metode-metode pendekatan yang sesuai dalam TQM. Badingkan dengan, Edward, Sallis, Total Quality Management in Education-Manajemen Mutu Pendidikan. Terj, Jogjakarta: IRCiSoD, 2010.


[7]Jasa kurikuler, merupakan pelayanan yang bersifat kurikuler seperti penyusunan kurikulum dan silabus, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi, dan bimbingan. Jasa administrasi, meliputi administrasi umum, akademis dan kesiswaan.   Jasa kebijakan umum, berbagai pelayanan yang bersifat kebijakan umum terutama dilaksanakan oleh pimpinan sekolah. Sedangkan jasa ekstrakurikuler merupakan pelayanan dalam pengembangan kesiswaan di luar kegiatan kurikuler, tetapi mendukung kegiatan studi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sosiologi Pendidikan (Ringkasan dari buku Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si)

Psikologi Pendidikan Kristen (Sentot Sadono)