PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DAN PERSOALAN MORALITAS
MISI PENDIDIKAN KRISTEN DAN TUGAS MENGAJAR.
Istilah pendidikan (education) dalam bahasa Latin disebut educare dan educere. Istilah yang pertama memiliki arti ‘merawat, membesarkan, memelihara, dan memperkaya seseorang dengan gizi yang baik supaya bertumbuh sehat dan kuat’. Istilah kedua mengandung arti ‘menuntun seseorang keluar dari suatu keadaan atau situasi ke dalam situasi lain yang lebih baik’. Dengan demikian, guru, sebagai pendidik, bertugas memperlengkapi anak didik dengan berbagai kebutuhan supaya bertumbuh kuat dan dewasa. Guru juga menuntun anak didiknya berpindah dari satu tahap kehidupan ke tahapan berikutnya, keluar dari kegelapan ke dalam.
Filsuf Indonesia, Dr. Driyarkara (1980), mengemukakan bahwa pendidikan pada prinsipnya bertujuan untuk memanusiakan manusia muda, yang disebut dengan istilah humanisasi dimanisasi. Hominisasi mengandung arti ‘menjadikan manusia (homo) menjadi dirinya sendiri secara holistik, mengenal dan ngembangkan potensinya sehingga tumbuh sebagai manusia yang bertanggung jawab. Humanisasi memiliki arti ‘proses jadi bagian dari sesama manusia atau melaksanakan tugas, pangggilan, dan tanggung jawab untuk kehidupan bersama orar dalam arti saling membantu’. Menurut Driyarkara, manusia /humane adalah manusia yang berbudaya tinggi, yang dapz diri sendiri bersama dengan orang lain. Dengan demikian, menurutnya juga, kehidupan yang adil dan sejahtera itu dapat terwujud di muka bumi ini.
Menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. tidak harus dimaknai bahwa Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat tersebut begitu jauh dari kehidupan manusia sebagai yang transenden yang tidak berkaitan dengan kehidupan manusia di bumi. Yesus Justru pribadi yang pernah menjalani kehidupan nyata di tengah dunia ini, la membangun kehidupan yang bersumber dari nilai-nilai kehidupanNya. la menjangkau kehidupan dengan model hidupNya. Ia mengajar, mendidik dan melatih dengan kedekatan hidupNya, la memulihkan kehidupan dengan memberi kehidupanNya. Semua hal tersebut dijalani Yesus dengan visi mengerjakan kehendak Bapa di Sorga. Hal yang sungguh menarik ketika membahas Yesus sebagai Guru Agung adalah penteladanan hidupNya justru sebagai pusat pembelajaran. Dalam Matius 11:28-29, “Marilah kepadaKu semua yang letih lesu dan berbeban berat Aku akan memberikan kelegaan kepadamu’ “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan”.
Dari ayat tersebut, Matius dalam kapasitasnya sebagai penulis kitab Injil Matius, sebagai murid Yesus, (band. Mat 9:9; 10:3; Mark 2:14, Luk. 5:27) dan dalam kedekatannya dengan Yesus sebagai Guru, menyampaikan beberapa hal yang sangat menarik yang dapat dipelajari dalam kaitan Yesus sebagai Guru Agung tersebut. Hal pertama, Matius hidup bersama pribadi Yesus sebagai Guru Agung yang telah memanggilnya dalam kehidupan baru di dalam Yesus (ayat 28) Prinsip yang terkandung dalam ayat tersebut bersifat general dan dapat dipahami sebagai panggilan agung pemuridan. Pemanggilan Yesus yang memberi pemulihan dan kehidupan yang bermakna tersebut adalah prinsip yang sangat Alkitabiah menyangkut hakikat dasar dari pendidikan Kristen. Karakteristik Pendidikan Kristen sesungguhnya adalah muara dari pengejawantahan perilaku Yesus di dalam kehidupan pendidik dan peserta didik. Memahami tulisan Robert W. Pazmino, dalam bukunya God Our Teacher, Pazmino, menuliskan bahwa, dalam kehidupan Kristen, Yesus adalah Guru Agung yakni sebagai teladan dan modern di mana hidup dan pelayanan-Nya berharga.
Misi Pendidikan Kristen dan Persoalan Moralitas (anak)
Sebuah artikel dari majalah internasional yang sudah tidak asing namanya di kalangan masyarakat yaitu majalah TIMES menyatakan bahwa generasi saat ini adalah generasi yang mengalami krisis secara global. Walaupun pada realitanya tidak semua mengalami krisis, tetapi searah perkembangan zaman generasi ini sudah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat mengubah seluruh aspek kehidupan.
Salah satu tokoh gereja, Stephen Tong, menyatakan bahwa generasi ini dipengaruhi beberapa faktor yang jika dibiarkan dan tidak ada pembimbingan secara serius dan terus menerus maka akan memunculkan generasi pemberontak. Beliau menyebutkan beberapa faktor itu antara lain: “media massa yang memberikan sajian gambar amoral,penyalahgunaan obat-obatan terlarang secara berlebihan,konsep intelektualitas menggantikan moralitas,gerakan zaman baru yang memberikan harapan-harapan palsu”.[1] Hal-hal di atas menurut Stephen Tong akan memunculkan generasi pemberontak, generasi dimana sudah kehilangan norma,tata krama,dan nilai-nilai agama yang sudah terkikis.
Banyak hal yang dilakukan oleh generasi ini khususnya anak dan remaja yang sedari kecil sudah dicekoki oleh suguhan yang mengandung unsur kekerasan, dimana unsur-unsur budaya sudah hilang. Gambaran tentang anak ideal bagi negara dan terutama bagi orangtua sudah mulai hilang mengingat kondisi yang dialami oleh anak-anak dan remaja saat ini. Survey yang telah dilakukan oleh pemerhati anak dan remaja pada tahun 2005/2006 menunjukkan kemerosotan yang begitu drastis mengenai keadaan anak yang semakin parah seiring perkembangan zaman. Survey itu adalah :
Ada pernyataan yang sudah tidak asing bagi khalayak umum yang mengatakan bahwa anak adalah aset bangsa dan harapan bangsa. Maka jika terjadi kebobrokan pada anak, siapa yang akan bertanggungjawab. Generasi ini khususnya anak-anak dan remaja adalah tanggungjawab kita semua karena anak dan remaja merupakan generasi yang harus dijaga dan dilindungi. Sedapat mungkin mereka harus menerima pembinaan dan pembimbingan yang terbaik, dari segi jasmani, rohani, pendidikan, dan kebutuhan lainnya.
Pemenuhan segi ini merupakan hak yang wajib dimiliki oleh anak dan anak berhak untuk mendapatkan semua itu. Selain itu anak juga memiliki hak istimewa yang lain yaitu setiap anak berhak mendapatkan perlakuan yang baik, menerima pendidikan yang layak, menerima bimbingan yang terus menerus. Tetapi pada realitanya kita sering mendapatkan anak-anak mendapat perlakuan yang tidak baik, baik dari keluarga maupun dari lingkungannya.Rose Mini dalam bukunya “Perilaku Anak Usia Dini” mengatakan bahwa:
Anak merupakan hal terpenting bagi penerus generasi oleh sebab itu anak berhak mendapatkan yang terbaik dalam hidupnya seperti hidup yang layak,pendidikan yang terjamin,kebutuhan jasmani dan rohani yang cukup dll.[3]
Setiap hak di atas dapat dimiliki oleh anak jika orangtua sadar akan keberadaannya sebagai pendidik yang sangat bertanggungjawab akan perkembangan anak. Hak yang sangat istimewa yang diberikan Tuhan kepada anak adalah hidup. Hidup merupakan suatu anugrah yang sangat luar biasa tetapi banyak orang tidak menyadarinya bahwa itu hal terindah yang pernah terjadi dalam hidupnya.
Banyak yang terkandung dalam hak istimewa yang dimiliki oleh setiap anak dan remaja. Salah satunya adalah hak untuk menerima pembimbingan yang terus menerus dari pendidik. Hal ini sangat penting diberikan kepada anak sedini mungkin karena mengingat dari usia dini anak-anak mulai terbentuk kepribadian dan karakternya.[4] Pembinaan rohani dapat diartikan sebagai suatu cara atau proses yang berisikan kegiatan menuntun atau memimpin. Pembinaan ini harus diberikan wajib kepada semua anak agar dalam menjalani kehidupan si anak memiliki pegangan yang kuat atau dasar dalam hidupnya.
Pegangan atau dasar ini mampu diterima oleh anak jika memiliki seorang pembimbing yang mampu memberikannya dengan baik dan mampu mengarahkan kepribadian anak ke arah yang lebih baik. Proses pembinaan tidak hanya sebatas pembimbingan secara perkembangan lahiriah tetapi semua aspek seperti pembimbingan dalam spiritual, intelek, emosi, hubungan sosial, bahasa dll. Pembinaan ini diperlukan adanya kerjasama antar semua pihak seperti orang tua, pendidik di sekolah, mentor, masyarakat dan khususnya negara karena anak merupakan aset bangsa dimana kehidupan anak adalah tanggungjawab kita semua.
Begitu juga dengan pembimbingan dan pengajaran bagi setiap anak diperlukan agar hidupnya terarah dan diarahkan. Variasi dalam setiap pembimbingan dan pembinaan sangat dibutuhkan oleh seorang pembimbing atau pengajar dalam tugasnya. Sebab setiap anak atau dalam kelompok anak tertentu memiliki keunikan tersendiri yang berbeda satu sama lain. Maka dari itu diperlukan pembimbingan dan pengajaran yang terus menerus dan dengan perencanaan yang bervariatif. Pembimbingan dan pengajaran yang dilakukan terhadap anak harus dilakukan secara intensif dan terprogram sehingga dapat mencapai hasil yang baik dan tepat pada sasaran. Hal ini juga diungkapkan oleh Judith Allen dalam bukunya Pengajaran dan Pembimbingan Anak beliau mengatakan “sebuah pembimbingan dan pengajaran terhadap anak diperlukan suatu perencanaan yang matang dan dilakukan secara serius dan di dalam perencanaan tersebut diperlukan ketekunan yang khusus agar dapat menghasilkan hasil yang maksimal dan terarah”.[5]
Jadi memang hal yang wajar jika sebuah proses pembinaan, pembimbingan dan pengajaran memakan waktu yang lama dan membutuhkan kesabaran dari pendidik atau mentor. Tidak semua anak dapat dibimbing dan diarahkan secara cepat karena di dalam setiap penangkapan yang diterima oleh anak, anak memiliki kecerdasan sendiri-sendiri. Ada anak yang dapat menerima dengan cepat setiap pengarahan dan pembinaan yang diberikan tetapi ada pula anak yang mengalami keterlambatan dalam penerimaan.
Hal inilah yang harus disadari oleh para pembina dan pendidik mengingat setiap anak memiliki daya tangkap yang berbeda satu sama lain. Untuk itulah guru atau mentor harus melakukan perencanaan yang matang dan tepat agar setiap pembinaan yang diberikan sesuai dengan kepribadian anak dan hasilnya pun sesuai yang diharapkan. Selain itu banyak yang harus diusahakan oleh para pembina dan pembimbing di dalam mengarahkan anak agar anak memiliki kepribadian dan karakter yang sesuai.
Untuk itulah penulis melakukan penelitian mengenai pembinaan rohani dan pembimbingan terhadap anak yang dilakukan di panti asuhan salib putih karena penulis melihat kerjasama yang aktif antara berbagai pihak dalam menumbuhkan kerohanian anak dan berbagai upaya pendidik atau mentor agar setiap anak memiliki karakter seperti Kristus.
Berbicara mengenai karakter tidak terjadi dengan sendirinya tetapi perlu diusahakan secara bersama-sama. John Maxwell mengartikan karakter sebagai suatu penyatuan (ekspresi) yang harmonis dari akal budi, perasaan, dan tubuh.[6] Jadi agar dapat membentuk suatu penyatuan antara akal, perasaan dan tubuh diperlukan suatu pengarahan agar membentuk karakter yang baik. Diharapkan karakter yang dimiliki oleh setiap anak adalah karakter seperti Kristus karena itulah dasar bagi setiap para pembina di dalam melakukan pembinaan.
Kristus yang menjadi standart atau tolak ukur adalah hal yang perlu ditanamkan oleh setiap para pembina dan pembimbing karena melalui Kristuslah kita mengenal kasih akan sesama, sukacita, damai sejahtera, dan buah-buah roh yang lain. Menjadi sempurna seperti Kristus tidak dalam sekejap mata seolah-olah dapat disulap menjadi seperti Kristus melainkan dibutuhkan adanya suatu proses panjang seumur hidup baik secara lahiriah maupun batiniah, melalui pengalaman hidup dengan Kristus sendiri dan terus ditekuni dalam persekutuan dengan Roh Kudus.
Memang tidak mungkin bisa menjadi mirip secara sempurna dengan Kristus. Akan tetapi kita bisa berusaha untuk menjadi pengikutNya yang setia, sehingga kita tidak hanya bisa bicara tentng Dia, melainkan menjadikan Dia seolah-olah hidup di dalam kita jika mereka melihat perbuatan-perbuatan kita dan sikap hidup kita. Disinilah penulis melihat bagaimana setiap anak ditangani secara serius dan khusus dalam setiap perkembangannya dan memiliki karakter seperti Kristuslah yang ditanamkan oleh semua pembimbing dan pembina dalam melakukan pembinaan rohani.
——–
DRAFT UNTUK JURNAL TEDEUM
[1] Stephen, Tong, Arsitek Jiwa 1, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2001), hlm 12.
[2] Seto, “Survey Anak Masa Kini”, Artikel, Kompas, 20 November 2006, Kol 4.
[3] Rose Mini, Perilaku Anak Usia Dini, (Jakarta:Kalam Hidup, 2002), hlm. 76
[4] Soetjiningsih, Tumbuh Kembang Anak, (Jakarta : Erlangga, 1984), hlm. 83
[5] Judith, Allen, Pengajaran dan Pembimbingan Anak, ( Jakarta : Kalam Hidup, 2000), hlm.17
[6] John, Maxwell, Karakter dalam Kepribadian, ( Malang : DIOMA, 2000), hlm 66
Istilah pendidikan (education) dalam bahasa Latin disebut educare dan educere. Istilah yang pertama memiliki arti ‘merawat, membesarkan, memelihara, dan memperkaya seseorang dengan gizi yang baik supaya bertumbuh sehat dan kuat’. Istilah kedua mengandung arti ‘menuntun seseorang keluar dari suatu keadaan atau situasi ke dalam situasi lain yang lebih baik’. Dengan demikian, guru, sebagai pendidik, bertugas memperlengkapi anak didik dengan berbagai kebutuhan supaya bertumbuh kuat dan dewasa. Guru juga menuntun anak didiknya berpindah dari satu tahap kehidupan ke tahapan berikutnya, keluar dari kegelapan ke dalam.
Filsuf Indonesia, Dr. Driyarkara (1980), mengemukakan bahwa pendidikan pada prinsipnya bertujuan untuk memanusiakan manusia muda, yang disebut dengan istilah humanisasi dimanisasi. Hominisasi mengandung arti ‘menjadikan manusia (homo) menjadi dirinya sendiri secara holistik, mengenal dan ngembangkan potensinya sehingga tumbuh sebagai manusia yang bertanggung jawab. Humanisasi memiliki arti ‘proses jadi bagian dari sesama manusia atau melaksanakan tugas, pangggilan, dan tanggung jawab untuk kehidupan bersama orar dalam arti saling membantu’. Menurut Driyarkara, manusia /humane adalah manusia yang berbudaya tinggi, yang dapz diri sendiri bersama dengan orang lain. Dengan demikian, menurutnya juga, kehidupan yang adil dan sejahtera itu dapat terwujud di muka bumi ini.
Menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. tidak harus dimaknai bahwa Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat tersebut begitu jauh dari kehidupan manusia sebagai yang transenden yang tidak berkaitan dengan kehidupan manusia di bumi. Yesus Justru pribadi yang pernah menjalani kehidupan nyata di tengah dunia ini, la membangun kehidupan yang bersumber dari nilai-nilai kehidupanNya. la menjangkau kehidupan dengan model hidupNya. Ia mengajar, mendidik dan melatih dengan kedekatan hidupNya, la memulihkan kehidupan dengan memberi kehidupanNya. Semua hal tersebut dijalani Yesus dengan visi mengerjakan kehendak Bapa di Sorga. Hal yang sungguh menarik ketika membahas Yesus sebagai Guru Agung adalah penteladanan hidupNya justru sebagai pusat pembelajaran. Dalam Matius 11:28-29, “Marilah kepadaKu semua yang letih lesu dan berbeban berat Aku akan memberikan kelegaan kepadamu’ “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan”.
Dari ayat tersebut, Matius dalam kapasitasnya sebagai penulis kitab Injil Matius, sebagai murid Yesus, (band. Mat 9:9; 10:3; Mark 2:14, Luk. 5:27) dan dalam kedekatannya dengan Yesus sebagai Guru, menyampaikan beberapa hal yang sangat menarik yang dapat dipelajari dalam kaitan Yesus sebagai Guru Agung tersebut. Hal pertama, Matius hidup bersama pribadi Yesus sebagai Guru Agung yang telah memanggilnya dalam kehidupan baru di dalam Yesus (ayat 28) Prinsip yang terkandung dalam ayat tersebut bersifat general dan dapat dipahami sebagai panggilan agung pemuridan. Pemanggilan Yesus yang memberi pemulihan dan kehidupan yang bermakna tersebut adalah prinsip yang sangat Alkitabiah menyangkut hakikat dasar dari pendidikan Kristen. Karakteristik Pendidikan Kristen sesungguhnya adalah muara dari pengejawantahan perilaku Yesus di dalam kehidupan pendidik dan peserta didik. Memahami tulisan Robert W. Pazmino, dalam bukunya God Our Teacher, Pazmino, menuliskan bahwa, dalam kehidupan Kristen, Yesus adalah Guru Agung yakni sebagai teladan dan modern di mana hidup dan pelayanan-Nya berharga.
Misi Pendidikan Kristen dan Persoalan Moralitas (anak)
Sebuah artikel dari majalah internasional yang sudah tidak asing namanya di kalangan masyarakat yaitu majalah TIMES menyatakan bahwa generasi saat ini adalah generasi yang mengalami krisis secara global. Walaupun pada realitanya tidak semua mengalami krisis, tetapi searah perkembangan zaman generasi ini sudah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat mengubah seluruh aspek kehidupan.
Salah satu tokoh gereja, Stephen Tong, menyatakan bahwa generasi ini dipengaruhi beberapa faktor yang jika dibiarkan dan tidak ada pembimbingan secara serius dan terus menerus maka akan memunculkan generasi pemberontak. Beliau menyebutkan beberapa faktor itu antara lain: “media massa yang memberikan sajian gambar amoral,penyalahgunaan obat-obatan terlarang secara berlebihan,konsep intelektualitas menggantikan moralitas,gerakan zaman baru yang memberikan harapan-harapan palsu”.[1] Hal-hal di atas menurut Stephen Tong akan memunculkan generasi pemberontak, generasi dimana sudah kehilangan norma,tata krama,dan nilai-nilai agama yang sudah terkikis.
Banyak hal yang dilakukan oleh generasi ini khususnya anak dan remaja yang sedari kecil sudah dicekoki oleh suguhan yang mengandung unsur kekerasan, dimana unsur-unsur budaya sudah hilang. Gambaran tentang anak ideal bagi negara dan terutama bagi orangtua sudah mulai hilang mengingat kondisi yang dialami oleh anak-anak dan remaja saat ini. Survey yang telah dilakukan oleh pemerhati anak dan remaja pada tahun 2005/2006 menunjukkan kemerosotan yang begitu drastis mengenai keadaan anak yang semakin parah seiring perkembangan zaman. Survey itu adalah :
- 51 anak bunuh diri
- 67 remaja meninggalkan rumah
- 21 remaja melahirkan di luar rumah
- 24 anak di bawah umur melakukun aborsi
- 686 anak menggunakan obat-obatan terlarang
- 169menyalahgunakan minuman keras.[2]
Ada pernyataan yang sudah tidak asing bagi khalayak umum yang mengatakan bahwa anak adalah aset bangsa dan harapan bangsa. Maka jika terjadi kebobrokan pada anak, siapa yang akan bertanggungjawab. Generasi ini khususnya anak-anak dan remaja adalah tanggungjawab kita semua karena anak dan remaja merupakan generasi yang harus dijaga dan dilindungi. Sedapat mungkin mereka harus menerima pembinaan dan pembimbingan yang terbaik, dari segi jasmani, rohani, pendidikan, dan kebutuhan lainnya.
Pemenuhan segi ini merupakan hak yang wajib dimiliki oleh anak dan anak berhak untuk mendapatkan semua itu. Selain itu anak juga memiliki hak istimewa yang lain yaitu setiap anak berhak mendapatkan perlakuan yang baik, menerima pendidikan yang layak, menerima bimbingan yang terus menerus. Tetapi pada realitanya kita sering mendapatkan anak-anak mendapat perlakuan yang tidak baik, baik dari keluarga maupun dari lingkungannya.Rose Mini dalam bukunya “Perilaku Anak Usia Dini” mengatakan bahwa:
Anak merupakan hal terpenting bagi penerus generasi oleh sebab itu anak berhak mendapatkan yang terbaik dalam hidupnya seperti hidup yang layak,pendidikan yang terjamin,kebutuhan jasmani dan rohani yang cukup dll.[3]
Setiap hak di atas dapat dimiliki oleh anak jika orangtua sadar akan keberadaannya sebagai pendidik yang sangat bertanggungjawab akan perkembangan anak. Hak yang sangat istimewa yang diberikan Tuhan kepada anak adalah hidup. Hidup merupakan suatu anugrah yang sangat luar biasa tetapi banyak orang tidak menyadarinya bahwa itu hal terindah yang pernah terjadi dalam hidupnya.
Banyak yang terkandung dalam hak istimewa yang dimiliki oleh setiap anak dan remaja. Salah satunya adalah hak untuk menerima pembimbingan yang terus menerus dari pendidik. Hal ini sangat penting diberikan kepada anak sedini mungkin karena mengingat dari usia dini anak-anak mulai terbentuk kepribadian dan karakternya.[4] Pembinaan rohani dapat diartikan sebagai suatu cara atau proses yang berisikan kegiatan menuntun atau memimpin. Pembinaan ini harus diberikan wajib kepada semua anak agar dalam menjalani kehidupan si anak memiliki pegangan yang kuat atau dasar dalam hidupnya.
Pegangan atau dasar ini mampu diterima oleh anak jika memiliki seorang pembimbing yang mampu memberikannya dengan baik dan mampu mengarahkan kepribadian anak ke arah yang lebih baik. Proses pembinaan tidak hanya sebatas pembimbingan secara perkembangan lahiriah tetapi semua aspek seperti pembimbingan dalam spiritual, intelek, emosi, hubungan sosial, bahasa dll. Pembinaan ini diperlukan adanya kerjasama antar semua pihak seperti orang tua, pendidik di sekolah, mentor, masyarakat dan khususnya negara karena anak merupakan aset bangsa dimana kehidupan anak adalah tanggungjawab kita semua.
Begitu juga dengan pembimbingan dan pengajaran bagi setiap anak diperlukan agar hidupnya terarah dan diarahkan. Variasi dalam setiap pembimbingan dan pembinaan sangat dibutuhkan oleh seorang pembimbing atau pengajar dalam tugasnya. Sebab setiap anak atau dalam kelompok anak tertentu memiliki keunikan tersendiri yang berbeda satu sama lain. Maka dari itu diperlukan pembimbingan dan pengajaran yang terus menerus dan dengan perencanaan yang bervariatif. Pembimbingan dan pengajaran yang dilakukan terhadap anak harus dilakukan secara intensif dan terprogram sehingga dapat mencapai hasil yang baik dan tepat pada sasaran. Hal ini juga diungkapkan oleh Judith Allen dalam bukunya Pengajaran dan Pembimbingan Anak beliau mengatakan “sebuah pembimbingan dan pengajaran terhadap anak diperlukan suatu perencanaan yang matang dan dilakukan secara serius dan di dalam perencanaan tersebut diperlukan ketekunan yang khusus agar dapat menghasilkan hasil yang maksimal dan terarah”.[5]
Jadi memang hal yang wajar jika sebuah proses pembinaan, pembimbingan dan pengajaran memakan waktu yang lama dan membutuhkan kesabaran dari pendidik atau mentor. Tidak semua anak dapat dibimbing dan diarahkan secara cepat karena di dalam setiap penangkapan yang diterima oleh anak, anak memiliki kecerdasan sendiri-sendiri. Ada anak yang dapat menerima dengan cepat setiap pengarahan dan pembinaan yang diberikan tetapi ada pula anak yang mengalami keterlambatan dalam penerimaan.
Hal inilah yang harus disadari oleh para pembina dan pendidik mengingat setiap anak memiliki daya tangkap yang berbeda satu sama lain. Untuk itulah guru atau mentor harus melakukan perencanaan yang matang dan tepat agar setiap pembinaan yang diberikan sesuai dengan kepribadian anak dan hasilnya pun sesuai yang diharapkan. Selain itu banyak yang harus diusahakan oleh para pembina dan pembimbing di dalam mengarahkan anak agar anak memiliki kepribadian dan karakter yang sesuai.
Untuk itulah penulis melakukan penelitian mengenai pembinaan rohani dan pembimbingan terhadap anak yang dilakukan di panti asuhan salib putih karena penulis melihat kerjasama yang aktif antara berbagai pihak dalam menumbuhkan kerohanian anak dan berbagai upaya pendidik atau mentor agar setiap anak memiliki karakter seperti Kristus.
Berbicara mengenai karakter tidak terjadi dengan sendirinya tetapi perlu diusahakan secara bersama-sama. John Maxwell mengartikan karakter sebagai suatu penyatuan (ekspresi) yang harmonis dari akal budi, perasaan, dan tubuh.[6] Jadi agar dapat membentuk suatu penyatuan antara akal, perasaan dan tubuh diperlukan suatu pengarahan agar membentuk karakter yang baik. Diharapkan karakter yang dimiliki oleh setiap anak adalah karakter seperti Kristus karena itulah dasar bagi setiap para pembina di dalam melakukan pembinaan.
Kristus yang menjadi standart atau tolak ukur adalah hal yang perlu ditanamkan oleh setiap para pembina dan pembimbing karena melalui Kristuslah kita mengenal kasih akan sesama, sukacita, damai sejahtera, dan buah-buah roh yang lain. Menjadi sempurna seperti Kristus tidak dalam sekejap mata seolah-olah dapat disulap menjadi seperti Kristus melainkan dibutuhkan adanya suatu proses panjang seumur hidup baik secara lahiriah maupun batiniah, melalui pengalaman hidup dengan Kristus sendiri dan terus ditekuni dalam persekutuan dengan Roh Kudus.
Memang tidak mungkin bisa menjadi mirip secara sempurna dengan Kristus. Akan tetapi kita bisa berusaha untuk menjadi pengikutNya yang setia, sehingga kita tidak hanya bisa bicara tentng Dia, melainkan menjadikan Dia seolah-olah hidup di dalam kita jika mereka melihat perbuatan-perbuatan kita dan sikap hidup kita. Disinilah penulis melihat bagaimana setiap anak ditangani secara serius dan khusus dalam setiap perkembangannya dan memiliki karakter seperti Kristuslah yang ditanamkan oleh semua pembimbing dan pembina dalam melakukan pembinaan rohani.
——–
DRAFT UNTUK JURNAL TEDEUM
[1] Stephen, Tong, Arsitek Jiwa 1, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2001), hlm 12.
[2] Seto, “Survey Anak Masa Kini”, Artikel, Kompas, 20 November 2006, Kol 4.
[3] Rose Mini, Perilaku Anak Usia Dini, (Jakarta:Kalam Hidup, 2002), hlm. 76
[4] Soetjiningsih, Tumbuh Kembang Anak, (Jakarta : Erlangga, 1984), hlm. 83
[5] Judith, Allen, Pengajaran dan Pembimbingan Anak, ( Jakarta : Kalam Hidup, 2000), hlm.17
[6] John, Maxwell, Karakter dalam Kepribadian, ( Malang : DIOMA, 2000), hlm 66
Komentar
Posting Komentar