PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DAN PERSOALAN MORALITAS

Presuposisi Pendidikan Kristen
Saya memulai presuposisi ini dengan berkata bahwa “manusia adalah merupakan satu kesatuan (tubuh, jiwa dan roh) atau “kesatuan dalam ke-bhineka-an,”[1]dan itulah manusia. Dalam proses perkembangan dan pertumbuhannya manusia perlu dididik, ini meliputi badan yang tentu mempunyai dampak terhadap jiwa (nya).
Maka dari itu, medidik selalu berarti “mendidik badan” (sebetulnya bukan hanya badan, tetapi badan sebagai bentuk konkrit dari kemanusiaan)… pendidikan manusia sudah mempunyai segi jasmani. Dalam pendidikan manusia jasmani dirohanikan dan rohani dijelmakan. Kehidupan yang teratur, itu adalah kehidupan jasmani yang dirohanikan, dan penjelmaan kerohanian[2]
Oleh karena itu sebetulnya pendidikan Kristen adalah proses mendidik badan (yang merupakan kenyataan dari kemanusiaan) sesuai Firman Tuhan yang kemudian inti pendidikan itu (Firman Tuhan) meresap dalam jiwanya dan akan diwujudkan dalam tingkah laku (cinta kasih, hidup menurut jalan Tuhan, dll). Ini akan membuat Firman Tuhan (awalnya hanya sebagai logos) menjadi nyata.
Filosofi Pendidikan Kristen
Berbicara soal dasar filsafat pendidikan Kristen maka tentu saya akan beranjak dari metafisika (Kristen), yakni untuk mencari dan mengenal realitas Ter- tinggi dan terakhir, yakni Tuhan. Pusat metafisika pendidikan Kristen adalah pada Kristus sebagai the ultimate reality. Mengapa? Karena di dalam Kristus berdiam seluruh kepenuhan ke-Allah-an (the fullness of God). Seluruh karakter, pengetahuan dan sifat-sifat Allah berdiam di dalam Kristus. Kristus merupakan penyataan dan kenyataan dari yang Ter-tinggi, Yang Ilahi, dan yang “misteri.”Yohanes menyatakan bahwa “Tidak seorang pun yang melihat Bapa tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya (Yoh. 1:14).” Sedangkan Paulus berkata bahwa “Yesus adalah gambar Allah… di dalam Dia berdiam seluruh ke-penuh-an ke-Allah-an (Kol. 1:15-19).”
Kehadiran Yesus dalam ranah sejarah manusia adalah untuk menjelaskan “Dia yang Ilahi, yang Misteri dan yang ter-tinggi.” Atau “Ia menyatakan diri secara historis dalam Yesus dari Nasaret, yang disebut Anak-Nya karena hubungan erat dengan-Nya, dan secara batiniah dalam diri manusia oleh Roh Kudus.”[3]Tidak seorang pun mengetahui keber-Ada-an Allah (Bapa). Allah ada dan Ia ada dalam keber-Ada-an-Nya (being). Yesus yang adalah Putera Tunggal Allah keluar dari Allah dan Dialah yang mengetahui tentang keber-Ada-an Allah (Bapa). Diri Allah (Bapa) terungkap melalui Yesus. Melihat Yesus sama dengan melihat Allah (Bapa). Sebab seluruh ke-penuh-an ke-Allah-an berdiam dalam Kristus (kalau seluruh ke-penuh-an Allah berdiam dalam Yesus berarti “totalitas ke-diri-an Allah ada dalam Yesus,” berarti juga yang “Misteri” yang “Ilahi” yang “Transenden” itu telah mengungkapkan diri-Nya). Maka dari itu, pendidikan Kristen harus berdasar dan berkar pada Kristus. Inilah yang membedakan Pendidikan Kristen (ajaran-ajaran Kristen) dari pendidikan dan ajaran-ajaran yang lain. Sebab jika tidak, maka akan sama dengan “ajaran-ajaran pada umumnya.”
Sedangkan Alkitab (sebagai obyek kajian material) harus menjadi pokok kajian dan bacaan pertama, artinya acuan dan tolok ukur kita adalah pada Alkitab. Kalau Alkitab menjadi obyek kajian material kita (pertama dan utama) maka tentu akan melahirkan pendekatan yang alkitabiah. Ini juga akan menghantar kita pada gol yang hendak dicapai. Gol dari pendidikan Kristen adalah membawa orang-orang yang dibimbing bertumbuh ke arah kedewasaan Kristus, yang tentu merupakan “satu-satunya jenis pendidikan yang layak dan dihargai oleh Allah (2 Tim. 2:15)”[4]sebab didasarkan pada ajaran-ajaran Kristus.
Orientasi Pendidikan Kristen
Berbicara tentang orientasi pendidikan Kristen maka kita harus menjadikan Allah dan alkitab sebagi orientasi.
  1. Allah sebagai Pusat (Theosentris).
Orientasi pendidikan Kristen harus berpusat pada Allah di dalam Kristus. Semua kebenaran adalah kebenaran Allah (All Truth is God Truth). Oleh karena semua kebenaran adalah kebenaran Allah maka kebenaran-kebenaran itulah yang harus diajarkan. Allah tidak termasuk dunia, Ia berbeda total dengan dunia. Hanya saja “tidak ada tempat lain untuk menemukan Allah daripada di dunia. Allah mengatasi dunia dan hadir juga di dalamnya.”[5]Dengan demikian maka semua ajaran-ajaran, kebenaran-kebenaran harus berpusat pada Allah.
Manusia bukanlah sumber kebenaran; artinya manusia tidak memiliki hikmat dan kebenaran. Maka tidaklah tepat jika manusia mengklaim dan memutlakan diri sebagai sumber kebenaran. Sebab orang yang genius sekalipun, padanya tidak ada kebenaran. Kegeniusan yang dimilikinya hanya menunjukkan atau merupakan bukti bahwa ada “Satu Pembuat” yang “Maha genius.” Boleh saya katakan bahwa “kepintaran manusia hanya merupakan setitik dari ke-Mahageniusan Allah yang ditanam dalam otak manusia.” Berarti tak ada bandingannya.
  1. Alkitab sebagai Pusat (Bible Centries)
Apa pun metode dan sistem pengajarannya yang terpenting adalah bahan pengajarannya berpusat pada Alkitab atau sebut saja Firman Tuhan. Seperti yang di sebutkan di atas bahwa Allah merupakan realitas tertinggi dan tujuan pendidikan Kristen adalah membawa orang-orang yang dibina dewasa di dalam Kristus maka Alkitab harus menjadi bahan material pertama dan utama dalam pendidikan Kristen. Gaebelein, seperti yang dikutip oleh Gangel berkata bahwa :
Jangan sampai ada pendidik Kristen yang merasa bersalah waktu ia tidak mengikuti kecanggihan dunia pendidikan kerena ia memberikan tempat tertinggi kepada Alkitab. Menetapkan satu kitab di antara buku-buku hebat lainnya ini, yakni satu-satunya kitab yang tanpa ragu bisa disebut “terbesar”, sebagai pusat kurikulum, bukanlah hal yang naif atau dangkal. Sebaliknya, benar-benar merupakan suatu keputusanyang baik kalau kita memusatkan pada yang terbaik dan bukan pada kedua yang terbaik.[6]
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa Firman Tuhan dinamis. Dalam menyampaikannya dan mengajarkannya tidak hanya disampaikan begitu saja melainkan Alkitab harus dihubungkan dengan kehidupan. “Pemberitaan kabar baik itu sendiri merupakan pengajaran … Yesus, yang dikirim oleh Allah, telah mengantarkanNya melalui hidup, kematian dan kebangkitanNya.”[7]
—————-
Draft untuk jurnal te deum
[1]N. Drijarkara, Filsafat Manusia, (Yokyakarta : Yayasan Kanisius, 2004), hal. 19.
[2]Loc, cit. hal. 19.
[3] Tom, Jakobs, Paham Allah; Dalam Filsafat, Agama-agama dan Teologi, (Yokyakarta : Yayasan Kanisius, 2004) hal.160.
[4] Rut, F. Selan, Pedoman Pembinaan Warga Jemaat, (Bandung : Yayasan Kalam Hidup,2000), hal.32
[5] Jakobs, Paham Allah, ibid, hal. 77
[6] Kenneth, O. Gangel, Membina Pemimpin Pendidikan Kristen, (Malang : Yayasan Gandum Mas, 1998) hal. 40.
[7] Iris, V. Cully, Dinamika Pendidikan Kristen, (Jakarta : BPK Gunung Mulia,1995), hal. 36

MISI PAK DAN PERSOALAN MORALITAS ANAK

Sunting
PROBLEMATIKA
Menurut Sentot Sadono,[1]pendidikan selayaknya dibangun dalam konsep manusia sebagai homo potens yaitu manusia yang sejak lahir membawa potensi dan bakat dalam dirinya. Pendidikan harus bersifat membela kebutuhan dan pembangunan kemandirian manusia, membangun keberpihakan kepada jatidiri manusia. Model pendidikan ini, manusia dipandang sebagai subjek yang otonom sehingga pendidikan harus berpusat pada peserta didik dan bukan pada pendidik.
Dalam konteks Indonesia, hal yang paling mendesak untuk diimplementasikan adalah membuka ruang berpikir yang lebih konstruktif dalam menanggapi pola pendidikan yang dikerjakan atas bangsa ini yang cenderung bahkan sudah terbukti melanggar keberadaan manusia sebagai homo potens. Pendidikan harus menjawab bahwa “selain sebagai makhluk spesifik yang dilengkapi dengan kemampuan-kemampuan biologis dalam kehidupannya manusia tidak hanya sepenuhnya diprogram oleh kemampuan biologisnya.
Harus diakui bahwa permasalahan pendidikan seperti tidak pernah ada habisnya dan telah membuat para ahli pendidikan senantiasa mengupayakan sebuah bangunan pendidikan yang lebih baik, yang tidak manusia dari kehidupannya yang adalah seutuhnya sebagai sasaran pendidikan.   Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud untuk membantu peserta didik (sebagai manusia utuh) untuk mengembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Pemahaman pendidik terhadap hakikat manusia akan membentuk peta tentang karakteristik manusia yang akan menjadi landasan dan acuan baginya dalam bersikap, menyusun strategi, metode dan teknik, serta memilih pendekatan dan orientasi dalam merancang dan melaksanakan komunikasi transaksional di dalam interaksi edukatif’.
Dalam konteks ini, pendidikan Kristen dalam misinya tentu harus memberdayakan setiap anak didik menjadi pribadi yang utuh dengan menjadikan Kristus pusat dan tujuan pendidikan. Seperti yang dikatakan Peters[2] bahwa misi harus berpusat pada Kristus (Christosentrally). Hal serupa juga ditekankan oleh Sidjabat[3] bahwa harus mengikuti gagasan dan teladan Yesus.
Karena itu, tesis dari artikel ini adalah “Kristus sebagai pusat misi pendidikan Kristen”. Tidak ada tujuan lain dari pendidikan secara umum selain membuat manusia menjadi makhluk bermartabat pada rasnya dan secara umum membuat manusia serupa dengan penciptanya dan meneladani penciptanya.
Presuposisi Pendidikan Kristen
Saya memulai presuposisi ini dengan berkata bahwa “manusia adalah merupakan satu kesatuan (tubuh, jiwa dan roh) atau “kesatuan dalam ke-bhineka-an,”[4]dan itulah manusia. Dalam proses perkembangan dan pertumbuhannya manusia perlu dididik, ini meliputi badan yang tentu mempunyai dampak terhadap jiwa (nya).
Maka dari itu, medidik selalu berarti “mendidik badan” (sebetulnya bukan hanya badan, tetapi badan sebagai bentuk konkrit dari kemanusiaan)… pendidikan manusia sudah mempunyai segi jasmani. Dalam pendidikan manusia jasmani dirohanikan dan rohani dijelmakan. Kehidupan yang teratur, itu adalah kehidupan jasmani yang dirohanikan, dan penjelmaan kerohanian[5]
Oleh karena itu sebetulnya pendidikan Kristen adalah proses mendidik badan (yang merupakan kenyataan dari kemanusiaan) sesuai Firman Tuhan yang kemudian inti pendidikan itu (Firman Tuhan) meresap dalam jiwanya dan akan diwujudkan dalam tingkah laku (cinta kasih, hidup menurut jalan Tuhan, dll). Ini akan membuat Firman Tuhan (awalnya hanya sebagai logos) menjadi nyata.
———————
Draft untuk jurnal te deum
[1] Sentot Sadono, Psikologi Pendidikan, Semarang: STBI, 2012
[2] George Peters, A Biblical Theology of Missions, Chicago: Moody Press, 1972.
[3] B.S. Sijabat, Pengajar Secara Profesional, Bandung: Kalam Hidup, 2009, hlm. 5
[4]N. Drijarkara, Filsafat Manusia, (Yokyakarta : Yayasan Kanisius, 2004), hal. 19.
[5]Loc, cit. hal. 19.

Tuhan di antara Berpikirnya Manusia Tentang Ada dan Waktu

Sunting
Tuhan menjadi “momok” berpikir bagi pikiran manusia. Manusia menimpatkan Tuhan di celah ada dan waktu. Persoalan ada dan waktu memaksa manusia harus mengakui atau menerima halikhwal tentang Tuhan. Manusia sebagai makhluk yang ada dan keberadaannya adalah ada di dalam waktu karena itu disebut makhluk fana. Ada dan waktu dalam eksistensi manusia membuat eksistensi manusia berpelukan erat dan mesra dengan waktu (being and time). Manusia tidak di luar waktu (jika di luar waktu maka tidak disebut fana) melainkan di dalam waktu. Eksistensinya dalam waktu membuat manusia tidak tahu apa-apa tentang wajtu yang akan datang (hanya bisa memprediksi). Ketidaktahuan inilah manusia berpikir untuk memecahkan misteri waktu sehingga dapat dengan pasti membuat rujukan untuk memastikan hal-hal yang bertalian dengan waktu yang akan datang. Manusia memecahkan itu dengan menempat perihal Tuhan di antara space “ada dan waktu”. Tuhan lalu menjadi penting bukan karena persoalan “selamat atau tidak selamat” melainkan ketidaktahuan dan ketakberdayaan atas diri dan waktu. Persoalan selamat atau tidak selamat merupakan akibat dari ketidakhuan manusia tentang hal setelah tiada. Maka persoalan selamat dan tidak selamat dipertegas dan diperkuat manusia karena ketidakmampuan menembusi waktu. Satu pertanyaan, bila manusia dapat menembus dan memcahkan misteri waktu, apakah perihal Tuhan masih ada dan berlaku?
Persoalan selamat dan tidak selamat kemudian harus dipecahkan. Caranya, Tuhan ditempatkan dibalik waktu juga. Manusia berusaha memecahkan misteri namun dengan menempatkan misteri yang lebih misteri lagi, manusia berusaha menjawab pertanyaan namun dengan membuat pertanyaan yang lebih sulit. Siapakah yang berani memcahkan misteri dibalim yang fisis atau yang metafisis. Untuk mengurainya, manusia lalu membuat dan mengenakan istilah. Karena juga tak terpecahkan maka “ya kamu percayai saja”. Yakinlah bahwa “dibalik itu putih” dengan menciptakan fenomen-fenomen untuk meyakinkan bahwa itu putih. Mungkin ada yang menganggap gaya berpikir ini aneh (menempatkannya pada kolom atheis). Manusia menyusahkan diri sendiri dengan menciptakan dan  menempatkan Tuhan sebagai oposan dan memproyeksikan yang ia tidak mampu pecahkan itu sebagai yang disebut Tuhan.
Persoalan ada dan waktu memaksa mau tidak mau harus mengiyakan bahwa yang dibalik itu ada yang berkuasa. Dibalik ketidaktahuan dan ketakberdayaan manusia dalam eksistensinya manusia berkata itu Tuhan. Apakah ya, ketakutan manusia akan waktu “yang akan datang” sebetulnya itulah yang menjadi Tuhan sehingga membuat manusia menciptakan tokoh oposan untuk menyelesaikan persoalan ketidaktahuan dan kegalauan.
Sifat asli manusia tidak akan pernah tertutupi. Contoh, jika ada dua barang yang anda lihat, lalu diberitahu, yang ini boleh dan yang itu tidak boleh. Lalu anda mengiyakan untuk tidak mengambil apalagi menggunakannya namun sebetulnya anda tidak suka dengan “yang itu tidak boleh yang ini saja”. Anda sudah “ngebet” ingin yang itu. Maka secara psikologis itu akan tertangkap lewat gejala fisis. Sama dengan anda berkata, aku tidak benci dia tetapi begitu anda berhadapan dengan dia maka segala gerak (mimik muka, kata-kata, posisi tubuh, gaya komunikasi, istilah yang dipakai, dll) anda secara fisis akan tertangkap yang merujuk pada keadaan di dalam hati bahwa anda benci dia.
Kembali ke hal ada dan waktu, kita mengiyakan soal ada Tuhan dan getol berbicara tentang Tuhan namun tidak serius soal yang digetolkan. Lihat saja, antara apa yang kita getolkan dan apa yang kita tonjolkan pasti tidak menonjolkan hang digetolkan atau digetoli.
Persoalan ini sudah dalam sejarah, dan fenomena ini ada disetiap agama. Kristen dibawa jauhhh dari sana, nyebrang laut dan daratan. Yang akarnya pun tak jauh beda dengan kepercayaan-kepercayaan primitif di indonesia, hanya saja yang dibawa itu (karena mau diekspor) sudah mengalami “peremasan (untuk dapat yang baik-apakah yang baik selalu harus…) dan pengemasa serta moderenisasi. Sehingga ketika tiba, maka kita harus menggantinya, kamu keliru, kamu doanya salah, lah kok bisa, ya, kamu doanya di bawa pohon “duren”. Nih, ganti, mulai besok doanya di gedung, datang pake jas (kalau sarung, boleh nda, boleh. asal tidak ada ‘motif’ binatang totem). Boleh bakar kemenyan nda, nda boleh, boleh ke kuburan nda, ndaaaaak boleh. Bagaimana dengan sebelum dibawa menyeberang lautan, bukankah juga demikian dan berakar di sana. Ini soal historisitas agama.
Manusia berusaha memecahksn kebuntuan waktu.
Getolilah yang kau getolkan. Seorang penulis anonim berkata, bagus zekali kau baru saja negatakan kepadaku tentangTuhan, namun kamu bohongi aku tentang Tuhan (dalam diskusinya bersama temannya). Kok bisa, ya kamu bohongi aku bahwa Ada Tuhan dan yang berTuhan itu orang baik apalagi yang Kresten. Kau bohongi aku, kemarin baru kau bercerita kalau kau menggelapkan uang kantor. Jadi, apakah kau berTuhan?
Lanjut lain waktu, tidur dulu sambil merenungkan,,,

Tahap-tahap Perkembangan Iman Menurut Fowler

Sunting
Silahkan baca dan diagnosa diri sendiri; di level manakah iman Anda saat ini (iman Anda berkembang atau tidak. Dan silahkan membuat perbandingan antara umur biologis Anda dengan umur iman Anda. Masih butuh susu atau sudah layak jadi pengajar. Tapi ingat: meskipun Anda sudah mengajar, berkhotbah dll, bisa saja itu hanya dari segi kognitif iman, bukan afektif dan psikomotor {faith as believing, fatih as trusting and faith as doing). Silahkan jujur terhadap diri sendiri.
Bisa membaca lebih lanjut di:
James Fowler, Faith Developmet Theory (FDT), Yogya: Kanisius
Thomas H. Groome, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta: BGP Gunung Mulia, 2011
Setiap orang beragama, pasti menginginkan spiritualitasnya mengalami perkembangan (pertumbuhan) sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan atau digariskan oleh tokoh agamanya atau yang digariskan dan tertulis dalam kitab sucinya. Dalam agama Kristen, perkembangan ini tentu tidak berarti tidak dapat dilihat dan  tidak dapat diamati yang akhirnya tidak dapat dievaluasi. Melainkan sebaliknya. Tingkat dan perkembangan spiritualitas seseorang dapat dilihat, diamati, didiagnosa yang pada akhirnya dapat dievaluasi.
Perhatikan Ibrani 5:12-14, 12. Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras. 13. Sebab barangsiapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia adalah anak kecil. 14. Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat.
Teks di atas merupakan catatan dan evaluasi dari penulis kitab (sebagai yang mengamati perkembangan iman) terhadap perkembangan iman orang percaya. Sehingga ia memberikan evaluasi berkaitan dengan iman para audiens.
Dalam konteks ini, Fowler telah melakukan penelitian dengan pendekatan psikologi perkembangan untuk melihat perkembangan iman.
Fowler menguraikan tujuh “kemampuan struktural” yang berbeda, atau kemampuan manusia yang khusus, yang membentuk kegiatan iman di setiap tahap tertentu: bentuk logika, bentuk koherensi dunia, kemampuan mengambil peran, kemampuan menempatkan otoritas, ba-tas-batas kesadaran sosial, kemampuan membentuk pertimbangan mo­ral, dan peran dari simbol-simbol.
Tahap Pertama: Iman Intuitif/Proyektif. Ini adalah iman sese­orang kira-kira dari usia empat sampai delapan tahun, di mana makna dibuat dan kepercayaan dibentuk secara intuitif dan dengan cara meniru. Mengetahui terutama melalui intuisi, dan iman dibentuk dengan cara meniru suasana hati, contoh, dan tindakan-tindakan iman orang-orang lain yang penting yang dapat dilihat, terutama orang tua. Afeksi mendominasi. Mengetahui dan merasa bercampur. Otoritas berada da­lam orang tua dan orang-orang dewasa yang penting.
Anak mulai menemukan realitas yang melampaui pengalaman se­hari-hari dan di sanalah ia bertemu dengan batas-batas kehidupan, mi­salnya kematian, batas-batas pengetahuan dan kekuasaan, dan sebagainya. Akan tetapi, kepercayaan dialaskan kepada orang tua dan orang-orang dewasa utama yang lain, dan dunia dikenal (diketahui) secara in­tuitif memproyeksikan makna dengan cara meniru orang-orang dewasa tersebut (oleh karena itu, nama tahap ini intuitif/proyektif).
Tahap pertama adalah saat fantasi dan imajinasi yang bebas di ma­na gambaran-gambaran dan perasaan-perasaan yang dapat tahan lama (baik yang positif maupun negatif) dibentuk. Fakta dan fantasi belum dibedakan. Akibatnya, simbol-simbol diartikan secara harfiah dan Allah dipikirkan dalam istilah-istilah magis, antropomorfis (sebagai contoh, Allah adalah seorang pria tua yang memiliki janggut yang dapat mela­kukan apa saja). Memori dan kesadaran akan dirinya mulai timbul, dan kemampuan mengambil peran orang lain (empati) mulai ada, tetapi ha­nya dalam bentuk yang paling dasar,
Tahap Kedua: Mitis/Harfiah. Tahap ini kira-kira terjadi antara usia tujuh atau delapan tahun sampai sebelas atau dua belas tahun. Ta­hap ini adalah tahap iman afiliatif di mana seseorang datang dengan le­bih sadar untuk bergabung dan menjadi anggota kelompok terdekatnya atau komunitas iman. Orang tersebut sekarang datang, dengan antusias, untuk mempelajari “tradisi, bahasa, dan legenda-legenda” komunitas tertentu dan memakai mereka sebagai miliknya sendiri. Ini dapat terjadi karena sekarang ia memiliki kesadaran yang lebih besar mengenai per-bedaan antara dirinya dan kumpulan orang-orang lain yang terdekat.
Sekarang cara membuat makna lebih bersifat linear dan naratif da­ripada bersifat episodik seperti dalam tahap satu. Lingkungan akhir mi­liknya dikonseptualisasikan dalam cerita-cerita dan mite-mite yang di­artikan secara harfiah (oleh karena itu, nama tahap ini mitis/harfiah). Kehidupan tampak mulai muncul.
Maka, pada tahap ini, iman adalah iman “yang bergabung” sese­orang secara sadar bergabung dengan kelompok sosial terdekat, meng­ambil cerita-ceritanya, simbol-simbolnya, mite-mitenya, dan ajaran-ajar-annya, dan memahami mereka secara harfiah. Kata-kata dari orang-orang yang lebih tua yang penting, berkuasa atas kata-kata dari teman-teman sebayanya. Kemampuan empatinya bertambah, tetapi hanya bagi mereka “yang seperti kami”, yaitu bagi para anggota kelompok terdekat.
Tahap Ketiga: Sintetis/Konvensional. Tahap ini biasanya mulai pada usia sebelas atau dua belas tahun ketika pengalaman seseorang di-perluas melampaui kelompok sosial primer dan keluarga. Tahap ini da­pat berlangsung lama sampai masa dewasa, dan untuk sejumlah orang, tahap ini bertahan hingga ia berkeluarga secara permanen. Pada tahap ketiga, iman menafsirkan, menghubungkan diri dengan dan membuat makna keluar dari kehidupan sesuai dengan petunjuk-petunjuk dan kri­teria dari apa yang “mereka katakan”, dengan kata lain, sesuai dengan konvensi yang populer. Tahap ketiga adalah tahap “konvensional” atau “bersifat menyesuaikan diri”, di mana dalam tahap ini seseorang ingin sekali merespons dengan setia pengharapan-pengharapan dan keputus­an-keputusan orang-orang lain yang penting. Sampai tahap ini, orang belum memiliki pemahaman yang cukup mengenai identitas miliknya sendiri untuk membuat keputusan-keputusan yang otonom dari per-spektifnya sendiri.
Tahap ketiga adalah tahap yang lebih maju yang melampaui tahap dua di mana seseorang secara sadar membagi kehidupan ke dalam segmen-segmen atau “medan-medan tindakan” yang berbeda. Sekarang ada banyak “mereka-mereka” yang mempengaruhi cara seseorang me­ngetahui dan berhubungan dengan dunia-keluarga, sekolah, pekerjaan, gereja, teman-teman sebaya, etos waktu senggang, organisasi-organisasi, dan sebagainya. Setiap segmen kehidupan ini mungkin menyedia-kan pelbagai perspektif, pengharapan, dan cara membuat makna yang berbeda. Mereka tidak dapat dihindarkan dari konflik. Lalu, bagaimana orang yang berada pada tahap ketiga, bergantung pada otoritas di tiap-tiap medan tindakan, mencapai keseimbangan dan sintesis? Fowler me­negaskan bahwa sintesis dicapai dengan meletakkan otoritas-otoritas yang berbeda di bawah apa yang orang yakini sebagai otoritas yang pa­ling tinggi, atau dengan “penggolongan”. Penggolongan terjadi ketika se­seorang cenderung membuat makna dan menafsirkan dunia secara ber­beda dan mengandalkan sebuah kelompok di mana ia berada di dalam-nya. Secara khusus, dalam masalah-masalah agama ada kecenderungan yang kuat untuk mengandalkan otoritas institusional.
Maka, pada tahap ketiga, ada penambahan rasa percaya pada pen-dapatnya sendiri melebihi tahap kedua, tetapi hanya digunakan untuk memilih di antara otoritas-otoritas dan tidak mencakup inisiatif pribadi untuk memecahkan ketidakcocokan di antara otoritas-otoritas. Iman masih tidak dipilih sendiri, tetapi terus bersifat “konvensional”, dengan otoritas yang memperkuat ditempatkan di luar orang tersebut. Ada sin­tesis, tetapi bukan sintesis personal yang otonom. Lebih tepatnya, me­milih dan menyeimbangkan pelbagai pengharapan konvensional dari pelbagai dunia orang (oleh karena itu, tahap ini diberi nama sintetis/ konvensional). Ada kesadaran terhadap perspektif-perspektif iman orang lain, tetapi kecenderungannya adalah prasangka atau mengasimi-lasi perspektif-perspektif yang lain menjadi miliknya sendiri.
Tahap Keempat: Individuatif/Reflektif. Tahap ini biasanya tidak dimulai sebelum usia tujuh belas atau delapan belas tahun. Bagi sejum­lah orang, tahap ini muncul hanya pada usia 35 sampai 40 tahun, dan banyak orang dewasa tidak pernah mencapai tahap ini. Peralihan dari tahap ketiga ke tahap keempat adalah sangat penting terutama bagi kesi-nambungan perjalanan iman. Di sini sintesis konvensional tahap ketiga mulai runtuh karena tidak cocok antara dirinya dan pelbagai pengha­rapan konvensional dari “kelompok-kelompok” miliknya yang berbeda. Peralihan ke tahap keempat terjadi ketika kita tidak tahan lagi menjadi “orang yang berbeda” ketika kita ada bersama kelompok-kelompok yang berbeda, atau ketika kita menyadari bahwa kita tidak dapat menyerah-kan pembuatan makna kita bahkan pada otoritas yang tertinggi. Seka­rang tanggung jawab untuk melakukan sintesis dan membuat makna berubah dari mengandalkan otoritas konvensional ke arah bertanggung jawab sendiri atas komitmen-komitmen, gaya hidup-gaya hidup, keper-cayaan-kepercayaan, dan sikap-sikap. Akibatnya, sekarang ada tingkat otonomi yang berbeda secara kualitatif, melebihi tahap ketiga. Cara me­ngetahui dan berhubungan dengan dunianya, identitas dan pandangan hidupnya, merupakan pilihan yang dipilih sendiri dan dibedakan dari sikap-sikap dan pengharapan-pengharapan orang lain oleh kesadaran sendiri. Sesungguhnya, mereka menjadi faktor-faktor yang diakui dalam cara menafsirkan, menilai, dan bereaksi terhadap pengalaman miliknya.
Bahkan waktu seseorang mencapai iman yang lebih otonom, pada tahap keempat ada kesadaran baru yang ditemukan mengenai paradoks-paradoks dan polaritas-polaritas kehidupan. Keputusan-keputusan me­ngenai ambiguitas-ambiguitas kehidupan dan ketegangan-ketegangan yang berlawanan tidak lagi dapat dihindari sebagaimana ketika mereka berada pada tahap ketiga. Fowler mendaftarkan beberapa ketegangan yang berlawanan itu seperti “individu lawan komunitas; khusus lawan universal; reladf lawan absolut; melayani diri sendiri lawan melayani orang lain; otonomi lawan heteronomi; merasa lawan berpikir; subjek-tivitas lawan objektivitas.” Sekarang kegiatan iman seseorang berusaha untuk menangani ketegangan-ketegangan ini dan mempertahankan ke-seimbangan di antara mereka. Akan tetapi, kecenderungan pada tahap keempat, khususnya dalam formulasinya yang awal, adalah merusak ketegangan dengan mendukung salah satu pihak. Orang mungkin mengambil pendekatan “satu di antara dua” terhadap masalah-masalah dan paradoks-paradoks yang demikian. Daripada polaritas-polaritas di-pertahankan dalam ketegangan yang produktif, mereka dirusak menjadi relaUvisme atau absoludsme. Ini juga nyata dalam hal perspektif-per­spektif milik orang lain daripada miliknya sendiri; kecenderungannya adalah masih mengasimilasi secara berlebihan daripada menerima me­reka dengan tulus dalam bentuk dialogis.
Tidak asing bagi seseorang yang berada pada tahap keempat berga­bung dengan komunitas yang memiliki ideologi yang kuat yang mena-warkan jawaban-jawaban yang sudah jadi terhadap ambiguitas-ambi­guitas dan paradoks-paradoks kehidupan. Akan tetapi, setidak-tidaknya penggabungan itu lebih didasarkan pada komitmen yang dipilih sendiri. Maka, tahap keempat adalah sebuah kemampuan baru untuk berdiri sendiri, dan kelompok miliknya dipilih berdasarkan refleksi dan bukan hanya diterima seperti pada tahap ketiga (oleh karena itu tahap ini dina-makan individuatif/reflektif).
Tahap Kelima: Iman Konjungtif. Kegiatan iman pada tahap keli-ma jarang muncul sebelum setengah baya. Paradoks-paradoks yang se-belumnya dihadapi oleh sejumlah strategi pengurangan ketegangan se­karang diterima, diafirmasi dan ketegangan dimasukkan ke dalam cara “beriman” miliknya. Dalam bahasa sehari-hari, kehidupan tidak lagi di­lihat dari sudut satu di antara dua, tetapi ada kerelaan untuk hidup ber­sama ambiguitas-ambiguitasnya. Tentu saja ini tidak berarti kembali ke relativisme dan ambivalensi. Sebaliknya, ada kualitas komitmen oto­nom yang baru terhadap pandangan miliknya sendiri, meskipun meng­hargai dan terbuka dengan tulus pada kebenaran-kebenaran yang ada dalam pandangan-pandangan orang lain. Sebagaimana telah disebut, hal tersebut bukan relativisme, tetapi pengakuan bahwa pandangan mi­liknya bukan kebenaran yang final. Ini memerlukan keterbukaan yang tulus pada orang-orang lain dan kerelaan untuk berdialog dengan mere­ka meskipun berisiko mengubah cara seseorang membuat makna dan berhubungan dengan dunia miliknya. Sistem milik seseorang dilihat ke-ropos dan tidak lengkap bahkan di tengah-tengah komitmen yang kuat terhadap sistem miliknya sendiri. Hal-hal yang khusus dihargai, tetapi hanya karena hal-hal khusus yang memiliki kemungkinan yang univer­sal. Simbol-simbol milik seseorang diperhatikan dan diafirmasi, tetapi juga “dilihat terus” sampai ke kemungkinan yang melampaui mereka. Iman tahap kelima melibatkan pemakaian kembali pola-pola ko­mitmen dan cara-cara membuat makna masa lampau. Akan tetapi, ini bukan kemunduran. Sebaliknya, hal tersebut adalah memperoleh kem­bali “kebenaran-kebenaran lama” dengan cara yang baru, mengafirmasi secara pribadi kebenaran yang ada di dalam kebenaran-kebenaran yang lama, mengambil kekuatan mereka, tetapi menolak pembatasan-pemba-lasan mereka. Jika tahap ketiga adalah tahap yang tergantung (depen­dant) dan tahap keempat adalah tahap yang tergantung pada diri sendiri (self-dependent), maka tahap kelima adalah tahap yang saling tergantung di mana seseorang dapat bergantung pada orang lain tanpa kehilangan kebebasannya. Sekarang ada empati dan kepedulian yang aktif bagi se­mua orang dan kelompok, bagi seluruh umat manusia, dan tidak hanya bagi komunitas terdekat miliknya sendiri.
Tahap Keenam: Iman yang Mengacu pada Universalitas. Ketika Fowler berbicara mengenai tahap keenam, bahasanya menjadi agak puitis. Kelihatannya ini tidak dapat dihindarkan karena kegiatan iman tahap keenam sulit untuk dikemukakan dalam bahasa percakapan sehari-hari.
Pos-pos yang lebih lama

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Edward Sallis: Total Quality Management

Sosiologi Pendidikan (Ringkasan dari buku Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si)

Psikologi Pendidikan Kristen (Sentot Sadono)