Pendidikan Agama Kristen dalam 'Tradisi" Filafat dan Teologi



Pendidik dan  Pendidikan Kristen diperhadapkan pada intelektualisme dan filsafat Yunani. Situasi ini tidak mungkin dihindarkan dan dihindari. Sebab, mengingat tekanan teoritis yang diberikan orang-orang Yunani yang tak terkendali.
Bagaimana melihat hal ini. Dalam tradisi PL dan PL, cara mengenal atau mengetahui Tuhan bukanlah kegiatan spekulatif-kontemplatif yang terpisah dari dunia. Bukan keterpisahan reflektif. Tidak. Melainkan spekulatif-kontemplatif yang menyejarah atau spekulatif-kontemplatif dalam keterlibatan yang reflektif di dalam dunia sebagai ketaatan pada pemerintahan Allah sebagai respons mengalami Allah di tengah-tengah sejarah.
Menengok tradisi (Clement dan Origenes)mengetahuidalam gereja mula-mula, pada umumnya usaha-usaha katekese sungguh-sungguh didasarkan pada cara mengetahui yang terdapat dalam Alkitab. Didache, dokumen abad pertama atau permulaan abad kedua dan salah satu [engajaran katekese yang paling awal yang masih ada di luar kanon Perjanjian Baru, menjelaskan bahwa gaya hidup yang menuju pada keselamatan adalah kehidupan yang bermoral di tengah-tengah dunia.
Dengan munculnya sekolah katekese di Alexandria, perubahan dapat dilihat dalam pemahaman orang Kristen mengenai proses mengenal (mengetahui) Allah. Untuk pertama kalinya sekolah ini mengembangakan paideia Kristen di bawah Clement dan Origenes. Yang mana pendekatan tindakan ini sebagai bentuk mendamaikan Kekristenan dengan filsafat Yunani. Aliran Alexandrian lebih menekankan cara mengetahui spekulatifsebab cara ini merupakan langkah mempersiapkan orang-orang memperoleh pengetahuan kognitif yang menuju pada penyatuan dengan Allah yang bersifat mistik dan kontemplatif.
Lain dengan aliran Alexandrian, Augustinus dalam the city of God dan conessions adalah refleksi spiritual atas relasi pribadinya dengah Allah tanda-tanda zaman dari sudut Alkitab dan ajaran gereja. Tujuan teologisnya adalah pencarian kebijaksanaan spiritual dan praktis. Metodenya adalah cara mengetahui yang berdasarkan pengalaman atau hubungan. Cara Augustinus ditengarai sama dengan tradisi yada dalam Yudaisme. Bahkan pendekatannya sama dengan Aristoteles yakni kontemplatif, aktif, kontemplatif-aktif.
Thomas Aquinas menekankan peran kecerdasan dalam proses pengetahuan, metode teologinya tidak didasarkan pada cara mengetahui theoria. Dari mentornya, Aristoteles, ia mengetahui bahwa tidak ada yang pernah ada dalam kecerdasan jika mula-mula tidak berada dalam indra-indra dan oleh karena itu, cara mengetahui yang berdasarkan pengalaman bersifat reflektif menjadi fondasi teologinya yang disebut summa.
Meski demikian, ketika tiba pada pendidikan agama, Aquinas mendukung proses pendagogis yang memakai cara mengetahui “dari teori ke praktik”. Ia beranggapan bahwa teolog dan magesterium gereja yang telah menyatukan pernyataan-pernyataan yang bersifat dalil yang diperlukan bagi pengetahuan Kristen. Dalil-dalil itu harus diajarkan kepada orang-orang kemudian diaplikasikan dalam praktik.
Pasca Aquinas dan skolastikian, tugas para teolog menjadi jelas yakni pencarian pengetahuan rasional tentang Allah. Dengan pengetahuan yang telah ditetapkan oleh para teolog, kini pendidikan agama lebih daripada yang pernah dilihat sebagai “kurir” teologi yang bertugas mereduksi teologi menjadi katekismus tanya jawab yang harus dihafalkan. Bagi umat Katolik Roma katekismus Kanisius pasca reformasi adlaah yang terbaik dan Bellarminus dengan tegas menetapkan katekismus sebagai alat utama bagi pendidikan agama dan kegiatan menghafalkan ringkasan-ringkasan dalil yang benar sebagai proses pedagogis.
Martin Luther. Luther menolak intelektualisme para penganut skolastikistik dan menekankan iman sebagai bentuk kepercayaan kepada llah daripada percaya pada dalil-dalil yang doctrinal. Namun ketika merekomendasikan proses pendidikan, Luther justu adalah orang yang popular dengan pendekatan katekismus.
 Pada masa Augustinus, ia menggunakan pendekatan mengetahui berdasar pengalaman atau hubungan. Cara ini kembali muncul pada masa Comenius, Locke dan Rosseau. Namun tidak ada dampak yang terlalu besar dari ide-ide mereka terhadap pendidikan formal gereja.
Berbeda dari yang lain, Francis Bacon tidak berfokus pada filsafat spekulatif melainkan filsafat praktis. Ia mengusulkan cara mengetahui “empiris” sebagai metode utama penyelidikan ilmiah. Baginya, jangan mundur dari dunia untuk membuat teori. Cara untuk memperoleh pengetahuan adalah dengan eskperimen dan induksi dari fakta-fakta pengalaman ke prinsip-prinsip yang fundamental yang kemudian mengeluarkan hasi;-hasil praktis yang bermanfaat.
Selain Bacon, John Locke menjadi penantang filsafat rasionalisme Rene Descartes-apriori (cogito ergo sum). Bagi Locke, pengetahuan tidak diawali  dari pikiran (abstrak-Plato) tetapi dari perasaan-aposteriori (realitas sebagai titik berangkat). Ia juga yang memunculkan teori tabularasa.
Perdebatan filosofis, antara aliran rasionalisme versus empirisme menjadi objek kajian filosofis bagi Imanuel Kant untuk menghasilkan filsafat idealism. Kant mencoba menjembatani antara rasionalisme vs empirisme. Kant menolak pengetahuan yang hanya bersifat aposteriori atau hanya bersifat apriori. Melainkan harus pengetahuan bertolak dari yang bersifat aposteriori dan apriori.
Bagaimana dengan Hegel, si filsuf “roh-geist” (tesis, sintesisi dan anttesis). Hegel menghidupkan kembali pemahaman pengetahuan manusia sebgai refleksi atas pengalaman. Ia menggunakan kembali istilah “praksis” meski berbeda dari pemahaman Aristoteles. Kant dan pencerahan Hegel menekankan pentingnya belajar tentang penalaran yang kritis yang nanti kemudian diperdalam saat praksis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Edward Sallis: Total Quality Management

Sosiologi Pendidikan (Ringkasan dari buku Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si)

Psikologi Pendidikan Kristen (Sentot Sadono)