Padamulanya Ketakutan Menciptakan Dewa-dewa?
Dari sisi sosio-antropologis, Duerkheim
berpandangan bahwa ”dewa-dewa yang disembah merupakan cermin budaya”.[1]
Jadi, baik Freud maupun Durkheim sepakat
bahwa dewa-dewa / Tuhan yang disembah manusia merupakan sebuah proyeksi, baik
proyeksi psikologis maupun sosio-antropologis. Ini berarti semua manusia dalam
berbagai budaya dipandang sama, artinya universal.
Dewa-dewa yang disembah tentu
diproyeksikan sesuai dengan latarbelakang budaya masing-masing. Hal ini memang
tidak sulit untuk dipahami dalam konteks agama suku atau agama-agama dunia (folkreligion). Kesulitan akan nampak
dalam agama-agama abrahamistik atau agama-agama wahyu, mungkin tidak dalam
budaya lokal (local culture) di mana
pertama kali agama itu muncul melainkan dalam perkembangannya yang
trans-budaya. David Shenk justru memandang hal tersebut sebagai ”tergodanya
agama-agama universal dalam etnosentrisme”.[2]
Padamulanya Ketakutan Menciptakan Dewa-dewa?[3]
(Primus in orbe Deos fecit Timor)
Seorang penulis
Romawi, Petronius mengatakan ”Primus in
orbe Deos fecit timor”- padamulanya ketakutanlah yang menciptakan dewa-dewa.[4] Bahwa awal mula
tentang adanya pribadi yang Maha itu, adalah ketakutan. Penulis lain, Buchner
menambahkan pada pernyataan Petroneus, bahwa bukan hanya ketakutan tetapi juga
ketidaktahuan. Dalam pengakuan keyakinan iman
konvensional, sepertinya pernyataan Petronius dan Buchner tidak ”laku”.
Dasarnya adalah bahwa Tuhan ada dengan sendirinya.
Menanggapi pernyataan
Petroneus mengenai ketakutan – timor dari kata timos – takut. Suatu ketika
dalam kelas dogmatika, pada pertengahan tahun 2006, saya pun mengajukan
pertanyaan kepada para mahasiswa teologi dengan nada yang sama seperti
Petornius. ”Jika bukan karena neraka, apakah kalian masih percaya pada Yesus?”.
Atau keyakinan Anda padaYesus, adalah karena takut pada api neraka yang tidak
pernah padam? Mereka menjawab bukan. Dan ketika saya mengutip pernyataan
Petroneus, saya menyadari bahwa jawaban para mahasiswa tersebut lahir dari
keyakinan konvensionl. Itu tidak salah. Melainkan bila kita ingin memahaminya
dalam ketenangan bathin dan dalam nalar yang terbuka, maka mungkin kita titak
akan membuang pernyataan Petroneus begitu saja.
Pernyataan Petroneus benar.
Agama pada masyarakat primitif tak disangsikan muncul dari sana. Muncul
ketakutan pada para masyarakat suku, akan serangan dari suku lain atau terhadap
daya-daya diluar diri (manusia). Untuk mengatasi ketakutan tersebut, maka
ritual dilaksanakan sebagai jalan menuju kemenangan atas ketakutan. Kalau
demikian pada taraf ini, agama dan hakekatnya, apakah merupakan psikoproyeksi
atau antropologisproyeksi?
Tuhan bukanlah suatu
konstruksi nalar juga bukan konstruksi psikologis – sebagai suatu perasaan
terdalam. Tetapi harus diakui bahwa manusia tidak hanya sein – ada tetapi juga mit
dasein – ada bersama-sama. Sebab unsur rasionlitas manusia membutuhkan
penjelasan untuk memenuhi tahu-nya
maka Tuhan harus dijelaskan dalam bahasa yang logis.
Pembahasan tentang teologi,
tak lain adalah suatu usaha rasional tentang Pribadi yang Maha itu. Usaha
tersebut berkaitan dengan usaha membahasakan pemahaman iman di mana iman
mencari sudut pandang (seeks faith
understanding) berkaitan dengan pribadi yang Maha itu.
Pribadi yang Maha itu sebagai ultimate reality memang tidak dicapai
dengan nalar manusia. Ini berarti kita berpikir ”metodis”[5] dengan
mengikuti pernyataan teologis Anselmus, aku percaya agar aku mengerti –
pikirkan juga kebalikan dari ”aku mengerti agar aku percaya”.
Kalau menurut Petroneus, awal
mula Tuhan adalah ketakutakan. Apa yang harus kita katakan? Yakinlah bahwa Ia
ada sebagaimana Ia telah ada dan
sekaligus sebagai realitas ultim. Aku
hanya percaya. Apakah benar atau tidak bahwa Ia ada? Benar, Tuhan ada, juga
karena aku yakin. Benar, Tuhan tidak ada, juga karena aku yakin. Lepare-pertaruhan, kata Pascal (lihat
penjelasannya pada halaman-halaman berikutnya).
Subjek pertama, merupakan
subjek absolutus[6] sebab Ia
Ada tanpa bergantung pada ada yang
lain, atau Ia tidak membutuhkan yang lain untuk menjadi sempurna. Ia sempurna
dari diri-Nya sendiri dan/atau Ia berada tanpa menggantungkan keberadaannya
pada yang lain. Alfred de Grazia dalam bukunya Divine Succesion mengatakan ”The sky shows itself to be infinite,
transcendent...For the sky, by its own mode of being, reveals
transcendence, force, eternity. It exists absolutely because it is high,
infinite, powerful”.[7]
Subjek kedua adalah subjek yang non-absolutus. Karena menggantungkan keberadaannya pada pengada
yang absolut. Atau adanya subjek pertama menjadi syarat bagi adanya subjek
kedua. Dengan memandang keduanya sebagai yang absolut dan non-absolut
berarti terbentang batas jangkauan dan batas cakrawala dari subjek non-absolut.
Artinya subjek kedua terbatas sehingga harus bergantung pada subjek pertama.
Subjek kedua ada karena
disebabkan oleh subjek pertama. Subjek pertama ada sebagai penyebab utama atau
penyebab tunggal, atau dalam istilah
Aristoteles disebut Penggerak yang tak
tergerakan atau sebab yang tak disebabkan. Sebelum membahas kedua entitas tersebut
terlebih dahulu dijelaskan pemikiran, Feuerbach, Freud dan Nietzche tentang Oedipus Complex, Oposisi Biner dan Requiem
aeternam Deo.
Mengapa pemikiran Feuerbach,
Freud dan Nietzsche penting untuk dibahas? Sebab merekaa adalah tokoh-tokoh yang
oleh beberapa orang dipandang sebagai para pembunuh ”konsep ketuhanan”. Pemikiran mereka, khususnya tentang tema
”theisme”, kita pelajari sebagai sebuah diskursus
untuk memahami mengapa mereka berpandangan demikian. Dengan jalan itu,
pemikiran mereka yang menjadi diskursus jadikan evaluasi dalam membangun
teologi (proper).
Juga bahwa, berbicara tentang
teologi tentu tidak lain adalah berbicara tentang Tuhan dan karya-Nya.
Berbicara tentang Tuhan, berarti kita sendang mengarahkan pikiran pada
pengetahuan tentang Allah khususnya tentang paham monotheisme. Bukan berarti kita terlalu cepat memasuki area kajian
dari teologi proper melainkan sebagai sebuah pengantar pada ilmu teologi.
Bukankah yang hendak dibahas dalam ilmu teologi adalah pengetahuan tentang Tuhan
yang monotheistis? Jalan argumentasi memang masih panjang, namun di sini
bolehlah kita mengutip pernyataan si filsuf apologet, Blais Pascal yang
terkenal, le pari yang artinya pertaruhan.[8] Katanya,
orang skeptis sering kali mencemooh orang Kristen yang membela adanya Allah
sementara mereka tidak bisa memberi bukti rasional. Di sini manusia harus
bertaruh (bukan judi) ada tidaknya
Allah. Pascal memutuskan untuk percaya adanya Allah. Baginya, kalau orang kalah
dalam pertaruhan ini (karena tidak ada Allah), orang tersebut tidak kehilangan
apa-apa tetapi kalau kamu menang (bahwa ada Allah) kamu memenangkan
segala-galanya. Karena itu, kata Pascal percayalah bahwa kau dapat memenangkan
pertaruhan itu.
[1]Emile
Durkheim, The Elemmentary Forms of Religious Life, dalam
Shenk, hlm. 6.
[2]Ibid
[3]Noh. I. Boiliu, Teologia
Sistematika I. Teologi Proper Sampai Hamartologi. Diktat, Jakarta: STTB The
Way, 2009
[4]Max, Jamer, Agama
Einsten. Teologi dan Fisika, Yogyakarta: Relief, 2004, hlm. 55
[5]Bukan aliran gereja metodis. Melainkan menunjuk pada sifat
dari metode.
[6]Kata Latin absolutus
terbentuk dari kata ab artinya dari dan solvere
artinya membebaskan, menyelesaikan. Jadi kata absolvere berarti terlepas dari. Lihat Kamus Filsafat, Lorens Bagus dan Kamus Latin
– English / English – Latin.
[7]Alfred de Grazia, The Divine Succession. A Science Of Gods Old
And New, New Yor: Multiprint Company, 1983. E-Book.
[8]Budi Hardiman,
Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia,
2009, hlm. 62.
Komentar
Posting Komentar