Mengapa Harus Tuhan?

Mengapa Harus Tuhan?
Pertanyaan ini menuntut kaum theis untuk menjawab bahwa Tuhan menjadi pusat segalanya. Namun, kaum theis terpecah dalam cara memahami supreme reality itu. Cara pandang yang berbeda itu melahirkan konsepsi yang berbeda-beda juga. Perbedaan-perbedaan itu menjadi ciri, baik dalam agama-agama samawi atau agama wahyu, atau agama-agama Abrahamic yakni Yudaisme, Kristen dan Islam maupun agama-agama dunia, aliran-aliran kepercayaan, Hindu, Budha, Kong Hu Cu dan Taoisme.
Baik agama-agama wahyu maupun agama-agama dunia memahami bahwa “Ada” yang mendasari segala sesuatu. “Ada” yang mendasari ini juga “disebut” dalam konsep masing-masing sejauh yang dipahami.
Ada banyak jalan yang membuat orang berpikir tentang Tuhan. Baik yang mempertanyakan tentang keberadaan-Nya, tidak percaya akan keberadaan-Nya maupun yang percaya tentang keberadaan-Nya. Di antara kelompok orang ini, masing-masing berusaha memberi argumentasinya tentang Tuhan.
Allah? Sebutan yang merujuk pada pribadi yang Maha. Ia pribadi yang tak terpikirkan dan tak terjangkau oleh nalar manusia. Nalar manusia hanya dapat menjangkau hal-hal yang ada dalam batas-batas cakrawala. Karena keterbatasan nalar manusia, maka manusia terbatas pula untuk membahasakan dan menalar pribadi yang Maha ini. Meskipun demikian, tak ada satu pribadipun yang sadar sepenuhnya tentang pribadi yang Maha itu, selain makhluk rasional yang disebut manusia. Ke-sadar-an itu, menempatkan manusia berada di atas ciptaan yang lain, sebagai yang unik dan berbeda. Keunikan dan keberbedaan itu, juga terletak pada kemampuan sadar, penarikan distansi, dan pemberian makna kepada dunia infrahuman. Kemampuan juga yang memungkinkan manusia sadar tentang pencipta-Nya.
Semua itu, merupakan latarbelakang dari penempatan potensi-potensi ilahi (potensia dari kata Latin poten = dapat dan esse = berada, ada. Potentia berarti memiliki daya dan kemampuan menjalankan daya. Daya ini dipahami berkaitan dengan daya untuk memerintah, membuat; ingat kemampuan manusia membuat barang-barang hightech, dll).
Manusia adalah makhluk bertanya, apa pun yang berhadapan dengannya dipertanyakannya. Mengapa ia bertanya? Karena manusia butuh pengetahuan, dan dengan pengetahuannya manusia dapat bertindak.
Manusia itu terbatas, namun dalam cakrawalanya ia tak terbatas. Pertanyaan yang diajukannya untuk memenuhi kebutuhan tahunya dan selalu dalam bertanya agar mengetahui dengan lebih benar lagi.
Tak pelak, Tuhan pun masuk dalam hal yang dipertanyakan manusia. Baik manusia bertuhan ataupun tak bertuhan hingga para filsuf. Pertanyaan dan pemikiran filosofis tentang hal tersebut disebut Filsafat Ketuhanan. Filsafat Ketuhanan memikirkan tentang Tuhan secara objektif, sistematik, dan mendasar. Namun sekali lagi, dapatkah nalar manusia mencapai tahu yang sepenuhnya tentang Tuhan?
Kalau di abad pertengahan, kajian filosofis tentang Tuhan menjadi hal yang sangat penting. Namun sejak masa aufklarung (abad 17 dan 18), filsafat semakin kritis terhadap agama, terutama oleh rasionalisme dan positivisme. Filsafat Ketuhanan, bukan hanya disingkirkan dalam kajian-kajian filsafati melainkan Tuhan pun tidak dipikirkan dengan berbagai argumentasi. Kajian-kajian ketuhanan filosofis beralih menjadi kajian antropologis. Mengapa?
Karena filsafat tidak meminati lagi Tuhan. Tuhan bukan lagi menjadi objek pengetahuan manusia. Imanuel Kant berkata bahwa hanya ada tiga argumentasi tentang Tuhan: ontologis, kosmologis, dan teleologis. Baginya ada persoalan dengan ketiga argumentasi itu. Ontologis, Tuhan hanyalah sebuah definisi belaka. Sebab jika kita berkata Tuhan ada maka sama seperti definisi sebuah segitiga yang mempunyai tiga sudut. Selanjutnya bahwa jika kita berbicara mengenai Allah sebagai pribadi yang absolute kemudian mengklaim keberadaanNya yang tercakup dalam definisi itu, maka Kant mempertanyakan apakah kita sedang membuat pernyataan analitis atau sisntetis. Kosmologis, jika sesuatu ada maka suatu pribadi yang mutlak harus ada.
Munculnya sikap fideisme dan fundamentalisme. Kaum fideis menolak pemikiran rasional tentang Tuhan. Sebab kepercayaan kepada Tuhan merupakan masalah iman. Bahkan iman melampaui nalar karena nalar tidak mencapai Tuhan. Kebenaran metafisik, moral dan religius tidak dapat dimasuki oleh rasio. Artinya akal harus tunduk pada iman, fides procedit intellectum. Tentang fundamentalisme; ada dua fundamentalisme, pertama fundamentalisme agama yang telah mengkristal dalam New Age dengan visi baru, yakni “kembali ke mistik Timur”. Kedua, fundamentalisme rasio dengan visi “kembali ke masa aufklarung”. Visi fundamentalisme rasio dikarenakan ketidakpuasannya terhadap sifat modernitas yang serba relatif.
Bila demikian, tertutupkah jalan pertanggungjawaban iman secara rasional? Romo Magnis berkata iman dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dalam dua arti:
Pertama, secara teologis. Iman dapat di pertanggungjawabkan apabila dapat ditunjuk bahwa apa yang diimani, serta kehidupan yang dijalani berdasarkan iman itu.
Kedua, secara filosofis. Yang mau ditunjukkan dalam pertanggungjawaban filosofis adalah rasionalitas iman itu, dan dilakukan dengan memakai nalar.
Nalar dapat memeriksa suatu keyakinan atau ajaran agama dari beberapa sudut. Misalnya, dari:
Konsistensi logis. Apakah ada pertentangan antara ajaran-ajaran itu?, Pengetahuan dunia dan masyarakat?. Apakah penciptaan dapat dipertanggungjawabkan dari sudut pandang pengetahuan ilmu-ilmu alam tentang alam raya.
Lebih jauh Romo Magnis menjelaskan bahwa filsafat ketuhanan sebagai filsafat tidak mendasarkan diri pada ajaran agama tertentu melainkan bertanya apa yang secara nalar dapat dikatakan tentang iman itu. Filsafat agama juga tidak membicarakan seluruh iman kepercayaan suatu agama melainkan hanya inti keyakinan iman bahwa ada Tuhan. Ruang lingkup filsafat ketuhanan hanyalah pada batas adanya Tuhan dipertanggungjawabkan secara rasional.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Edward Sallis: Total Quality Management

Sosiologi Pendidikan (Ringkasan dari buku Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si)

Psikologi Pendidikan Kristen (Sentot Sadono)