MEGALOMANIAK DAN EGOMANIAK SEBAGAI “PARANOID DISORDER” BAGI PEMIMPIN KRISTEN
MEGALOMANIAK DAN EGOMANIAK SEBAGAI
“PARANOID DISORDER” BAGI PEMIMPIN KRISTEN[1]
Noh
Ibrahim Boiliu
Abstract:
This research aims to reveal about John the Baptist as the
leadership is not paranoid disorder. This study used hermeneutic approach .
These results indicate that John is not the megalomaniac leader and egomaniac
as paranoid disorder as shown by the attitude of John the Baptist in the Gospel
of John 3:30 . As a result, when comparing the personality of John the Baptist
with Christian leaders today there is a tendency on the megalomaniac and
egomaniacal as paranois disorder.
Abstrak: Penulisan
ini bertujuan untuk mengungkapkan tentang Yohanes Pembaptis sebagai pemimpinan
yang tidak paranoid disorder. Penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Yohanes Pembaptis bukan pemimpin yang
megalomaniak dan egomaniak sebagai paranoid disorder seperti yang ditunjukkan
melalui sikap Yohanes Pembaptis dalam Injil Yohanes 3:30. Hasilnya, jika
membandingkan kepribadian Yohanes Pembaptis dengan pemimpin-pemimpin Kristen
masa kini ada kecenderungan pada megalomaniak dan egomaniak sebagai paranois
disorder.
Keywords: Megalomaniac, egomaniac, and paranoid disorder
Kata Kunci: Megalomaniak,
egomaniak, paranoid disorder
=======================================================================
PENDAHULUAN
Kepemimpinan merupakan tugas yang diinginkan
oleh setiap orang di seantero dunia. Setiap orang apapun pekerjaannya selalu
ingin untuk memimpin dalam level apapun. Bahkan kemudian kepemimpinan menjadi
suatu studi tersendiri. Yang mana setiap orang berusaha mempelajari ilmu
kepemimpinan dengan tujuan ingin memimpin sebaik-baiknya bahkan “mungkin” ingin
memimpin “selama mungkin”.
Keinginnan untuk memimpin kemudian
mendorong setiap orang untuk mengusahakannya atau memperjuangkannya. Memimpin
selalu ada kaitan dengan “berkuasa” atau punya kuasa mengepalai atau “berkuasa”
atas yang lain. Ini tentu tidak salah. Toh, memimpin dan berkuasa sebetulnya
merupakan salah satu kebutuhan neorosis manusia. Jika sebagai kebutuhan
neorosis manusia maka siapapun selagi disebut “manusia” pasti ingin memimpin
dalam level apapun dan di mana saja. Baik di dalam keluarga maupun di luar.
Bahkan dalam kekristenan, melalui
Alkitab, Alkitab tidak menafikan soal hal kepemimpinan. Justru di dalam Alkitab
kita dapat menemukan bahwa Alkitab sangat mendukung apa yang kita sebut
“memimpin”. Bahkan dalam studinya kita mengenal kepemimpinan Kristen. Istilah
Kristen kemudian menjadi “label” atau “tanda” bahwa kepemimpinan hendak dilihat
dalam perspektif kristiani atau hendak dilihat dalam sudut pandang Alkitab.
Sebab apakah seorang pemimpin
Kristen, memimpin dengan menerapkan nilai kristiani ataukah tidak akan dilihat
dari gaya dan model kepemimpinannya yakni sudahkah mencerminkan model
kepemimpinan Yesus atau sudahkah memimpin seperti Yesus Kristus memimpin. Gaya
memimpin Yesus kemudian menjadi rujukan.
Kita sama-sama paham bahwa Yesus
memimpin dengan penuh kerendahan hati atau humble.
Hal kerendahan hati kemudian menjadi nilai yang diacu oleh setiap pemimpin; hal
kerendahan hati pun kemudian menjadi
syarat dan isyarat ketika seorang pemimpin Kristen hendak memimpin.
Berdasarkan pengamatan penulis dalam
lembaga-lembaga “Kristen” bahkan gereja, memang betul demikian adanya bahwa
kerendahan hati menjadi isyarat bagi seorang pemimpin Kristen atau seorang
gembala. Namun dari pengamatan penulis hal kerendahan hati kemudian menjadi
berita yang terkooptasi dalam lingkup
kampanye “politik pemimpin Kristen”. Sebab hanya sebatas “pesan” bahwa seorang pemimpin lembaga Kristen atau seorang gembala
harus memiliki kerendahan hati sebagai syarat dan isyarat memimpin seperti
Yesus memimpin.
Seiring dengan berita kerendahan
hati yang disampaikan maka searah dengan berita dimaksud, muncul sikap megalomania dan egomania yang tidak “diberitakan” namun “berbicara”. Inilah yang
dalam sudut pandang penulis, megalomania dan egomaniak dilihat sebagai
“penyakit” yang sebetulnya ditolak dalam “pesan” pemimpin namun dibiarkan
bertumbuh dalam sikap pemimpin. Gary Goodell[2]
mengungkapkan hal yang sama di dalam bukunya (akan dibahas pada point
berikutnya).
Karena itu, apakah Yesus seorang
pribadi yang megalomania dan egomanik?
Definisi Megalomaniak dan Egomaniak
Oxford Dictionary mendefinisikan
megalomania sebagai “a strong feeling that you want to have more and more
power”.[3]
Sedangkan megalomaniac menunjuk pada
sifat dari megalomania, yakni “obsession with the exercise of power,
esp. in the domination of others. Delusion about one's own power or importance
(typically as a symptom of manic or paranoid disorder)”.[4]
Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefiniskan megalomania sebagai “Kelainan
jiwa yang ditandai oleh khayalan tentang kekuasaan dan kebesaran diri”.
Megalomania
dalam definisi di atas merupaan sebuah ciri dari kelainan jiwa atau “as a
symptom of manic or paranoid disorder”. Ada suatu obsesi yang “terlalu” besar
terhadap kekuasaan. Sebab pemimpin dan kepemimpinan selalu berhubungan dengan
seseorang mempunyai hak atau kuasa untuk memimpin. Apakah kuasa itu diciptakan
atau diejawentahkan yang jelas hal tersebut dijadikan obsesi dan khayalan tentang
kekuasaan.
Menurut
Oxford Dictionary, egomania
didefinisikan sebagai “a mental condition in which is interested in themselves
or concerned about themselves in a way
that is not mornal”.[5]
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan egomaniak sebagai “obsesi
kebesarandiri”.
Baik
megalomaniak maupun egomaniak, keduanya merupakan paranoid disorder dari
setiap orang (semua yang termasuk dalam kategori pemimpin) yang terobsesi
dengan kekuasaan dan kebesaran diri. Kedua hal ini menjadi penyakit berbahaya
yang disadari oleh setiap pemimpin namun tidak diobati atau ada sikap sengaja
dan masa bodoh bahkan “terkesan” adanya pembiaran. Ironisnya, pemimpin
‘pura-pura’ tidak menemukan penyakit tersebut dalam dirinya melainkan dengan
mudah mendiagnosa dan menemukannya dalam diri jemaat atau bawahannya. Akhirnya,
jemaat yang diobati namun pemimpinnya tetap dalam kondisi demikian. Yang
menjadi sasaran pengobatan tentunya pemimpin-pemimpin yang ada di market place karena dianggap ‘dekat
dengan’ atau ‘ditengah” gejolak dunia.
Yesus dan Yohanes Pembaptis: dua Pribadi
yang Anti Megalomaniak dan Egomaniak
”Sejak
Yesus tampil dalam pentas dunia, bahkan melalui laporan para rasul dalam
tulisan injil-injil, para penulis menghadirkan sosok Yesus sebagai pemimpinan
yang visible, komunikatif, dan konstruktif.”[6]
Visible[7]: Ia berkata “Akulah[8]
jalan, kebenaran dan hidup”. Yesus
membentangkan visi Kerajaan Allah kepada dunia. Visi tersebut adalah agar
seluruh manusia hidup dalam kebenaran Allah dengan jalan meneladani cara
hidup-Nya maka akan memperoleh kehidupan kekal. Ungkapan “Aku adalah merupakan
penggambaran Yesus tentang diri-Nya”.[9]
Komunikatif[10]: komunikasi mempunyai peran penting
bagi seseorang dalam mengkomunikasikan apa yang ada dalam pikiran, apa yang
dirasakan, dll. Yesus dalam kapasitas sebagai Allah dan manusia, Ia juga
membentang rahasia Allah kepada manusia seperti yang dilaporkan Yohanes, “tidak
ada seorangpun yang tahu tentang Bapa selain daripada Anak Tunggal (mono genesis) yang ada dipangkuan Bapa –
Yohanes 1:18”.
Konstruktif[11]: sebagai seorang pemimpin, Yesus
mengharapkan murid-murid-Nya sebagai pemimpin, Yesus hadir dan mengangkat
keluar atau membawa keluar (ekkaleo – to
bring out) manusia dari kemiskinan
spiritual dan kebutaan spiritual,
bahkan dalam kapasitas ke-Tuhan-an-Nya, Yesus menghadirkan Kerajaan Allah
sebagai lawan daripada kerajaan kegelapan – Lukas 4:18,19. Paradigma inilah
yang ditawarkan Yesus ketika menyampaikan pengajaran-Nya di Bait Allah.
Bahkan
di dalam Injil Yohanes 3:30 tercatat sikap yang anti megalomaniak dan egomaniak
dari Yohanes Pembaptis. Dengan kata lain Yohanes merupakan pribadi yang anti
megalomaniak dan egomaniak. Jika ia mengalami apa yang disebut paranois disorder berkaitan dengan
khayalan akan kekuasaan dan kebesaran diri maka tentu teks Yohanes 3:30 tidak
akan muncul atau setidak-tidaknya berbeda dengan yang ada dalam Yohanes 3:30.
Menyimak
pernyataan dari Yohanes Pembaptis ketika menghadapi para imam dan orang-orang
Lewi yang diutus oleh Sanhedrin dengan pertanyaan: “Siapakah engkau?”. Maka Yohanes Pembaptis menjawab “Aku bukan Messias, juga bukan Elia,
dan juga bukan nabi yang akan datang itu” (Yoh. 1:20-21). Bahkan
ia juga berkata “Lihatlah,
Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia” (Yoh. 1:29). Yohanes
Pembaptis kemudian menegaskan pengakuannya tentang Yesus: “Ia inilah Anak Allah”
(Yoh. 1:34).
Tesis
Yohanes Pembaptis jelas, yakni Yesus “Ia inilah Anak Allah”. Tidak ada obsesi
yang merujuk pada sikap megalomaniak dan egomaniak. Tidak ada kesan paranoid disorder yang melekat dalam
ungkapan Yohanes Pembaptis. Padahal, seandainya saja ia mengatakan bahwa ia
adalah mesias apakah tidak mungkin
orang percaya?
Di tengah-tengah
kecenderungan yang demikian (megalomaniak dan egomaniak), justru muncul
pernyataan dari Yohanes Pembaptis: “Aku
bukan Messias, bukan Elia dan bukan pula nabi yang akan datang itu”
(Yoh. 1:20-21, 25). Bukankah pernyataan dari Yohanes Pembaptis tersebut justru
menunjukkan suatu kejujuran dan
integritas diri, di mana ia tidak mau sedikitpun untuk membesarkan dirinya?
Padahal pada waktu itu orang banyak datang berbondong-bondong untuk menjumpai
Yohanes Pembaptis.
Bahkan lembaga keagamaan
“Sanhedrin” mengutus para imam dan orang-orang Lewi untuk memperoleh suatu
kepastian apakah Yohanes Pembaptis adalah seorang Mesias yang telah dinantikan oleh umat Israel, ataukah mungkin dia
adalah “inkarnasi nabi Elia”; dan juga apakah dia adalah nabi yang dinubuatkan
oleh Musa di Ul. 18:15, 18). Ini berarti banyak orang Israel pada zaman itu
melihat Yohanes Pembaptis memiliki kharisma rohani yang luar biasa, sehingga
mereka akhirnya bersedia untuk dibaptiskan di sungai Yordan. Terhadap penilaian
dan kekaguman orang Israel terhadap dirinya, Yohanes Pembaptis tetap
tidak bergeming dan tidak berdusta bahwa dia bukanlah seorang Mesias. Dia hanya menyebut dirinya hanya
sekedar: “suara orang yang
berseru-seru di padang gurun” (Yoh. 1:23).
Hanya “suara orang yang
berseru-seru di padang gurun merupakan sikap anti terhadap obsesi kekuasaan dan
kebesaran diri. Sikap ini boleh kita lihat sebagai sikap ideal karena antara
pesan yang disampaikan dan reaksi Yohanes pembaptis terhadap perlakuan orang
banyak sejalan. Ia benar-benar menunjukkan sikap hati hamba sebab ia tidak
membuat pengakuan bahwa “ia adalah mesias”.
Berita yang disampaikan oleh
Yohanes Pembaptis sangat efektif sehingga didengar dan menyentuh hati umat
Israel disebabkan dia telah berhasil meniadakan segala aspek ambisi yang
menyangkut kemuliaan dan kelebihan dirinya sebagai seorang utusan Allah.
Tepatnya Yohanes Pembaptis bersedia “menanggalkan” segala atribut dan
otoritasnya sebagai seorang hamba Allah, agar dia dapat menyaksikan secara
efektif kemuliaan pribadi ilahi yaitu sang Terang di dalam diri Kristus. Di
hadapan publik, Yohanes Pembaptis menyatakan sikapnya terhadap Kristus: “Membuka tali kasutNyapun akut tidak
layak” (Yoh. 1:27). Kerinduan utama dari Yohanes Pembaptis adalah
agar dia dapat menyampaikan kabar baik, bahwa Kristus sang Terang dari Allah
telah datang ke dalam dunia. Di sini terdapat hubungan yang sangat signifikan
dan kualitatif antara Yohanes Pembaptis sebagai “yang diutus” (the sent), dengan diri
Kristus yang bertindak sebagai pengutus (the
sender). Dia tidak mau sedikitpun merebut kemuliaan Kristus, dan
karenanya dia berkata: “Ia
harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3:30).
Ulasan W.Max Alderman dalam commentary-nya, dikatakan bahwa:
In
explaining his unique position as the forerunner of Christ, John calls himself
the friend of the bridegroom. The friend
or shoshben, had a prominent place at a Jewish wed- ding. He was the liaison between the bride and the
bride- groom. He was instrumental in the
arranging of the wedding and the inviting of the people to the wedding. He brought the bride and the bridegroom
together and guarded the bridal chamber making sure no false lover came
in. He had to rec- ognize the
bridegroom’s voice before opening the door.
Once he did all these things, he willingly and graciously faded out of
the picture. This attitude of John is
expressed in verse 30, “He must increase, but I must decrease.”[12]
Berdasarkan tafsir dari
Alderman, Alderman mengungkapkan bahwa Yohanes Pembaptis memposisikn dirinya
hanya sebagai “perantara antara mempelai pria dan mempelai wanita”. Ia hanya
menyampaikan pesan kepada mempelai wanita untuk mempersiapkan diri.
Sikap
Yohanes Pembaptis dalam memposisikan dirinya terhadap Yesus adalah “ἐκεῖνον δεῖ αὐξάνειν, ἐμὲ δὲ ἐλαττοῦσθαι.(ekeinon dei auxanein, eme de elattousthai)
atau He must increase, but I must
decrease . Jika kita memperhatikan kata auxanein/
increase (artinya to make to grow), maka kita akan mengerti bahwa “harus ada perubahan dalam konteks
bertumbuh” atau dapat kita pahami juga bahwa pemahaman dan pengetahuan tentang
Kristus harus bertumbuh dan bertambah, “to next level” pada pemahaman
berikutnya. Dalam analogi Rasul Paulus, “harus beralih dari minum susu ke makan
makanan keras”. Sedangkan kata elattousthai/
to decrease (artinya to make less).
To make less, “aku-ku” atau “ego” dan/atau “keakuanku” berkurang.
Tidak menonjolkan diri. Hal yang menarik adalah kata auxanein dan elattousthai
merupakan kata kerja imperatif namun auxanein
bersifat “aktif” sedangkan elattousthai
bersifat pasif. Artinya usaha agar “Yesus” semakin besar harus lebih besar
daripada usaha “aku-ku semakin besar”.
John
Pipper berkata:
“Who
Is This Egomaniac?”
That
was not Nicodemus’ response to Jesus. And there are many today who find this
response to the exaltation of Jesus (above his friends) unintelligible. Last
Tuesday, May 13, for example, NPR played an interview with an author who quoted
Jesus in Matthew 10:37–38 and asked in his book, “Who is the egomaniac speaking
these words?” What Jesus said was, Whoever loves father or mother more than me
is not worthy of me, and whoever loves son or daughter more than me is not
worthy of me. And whoever does not take his cross and follow me is not worthy
of me. Jesus is clearly demanding that we treasure him over everyone and
everything else. To many people today, that is sheer egomania. And the people
who respond that way find John the Baptist’s reaction unintelligible. It’s the
opposite of their own. They see that Jesus demands that we love him more than
anyone—that we follow him, trust him, enjoy him, be satisfied in him, delight
in him, obey him more than anyone else. That’s true. He does. And their
response is exactly the opposite of John the Baptist’s. They remain where
Nicodemus was. Flabbergasted (John 3:9). Or appalled[13]
Tanggapan John Piper
terhadap ungkapan Yohanes Pembaptis adalah bahwa Yohanes pembaptis tidak
berharap agar orang mengenal dirinya dan bahwa Yesuslah yang harus lebih besar
dan lebih menonjol dibandingkan dirinya. Piper juga mengatakan bahwa bukan
berarti Yesus “egomaniac” atau
“pribadi” yang terobsesi dengan diri sendiri. Tidak. Namun, jika ada orang yang
terosesi untuk menonjolkan diri sendiri, ia sedang bermasalah dengan dirinya, egomaniac.
Selain Piper, Johanes Calvin pun
memberikan tanggapan yang menarik, bahwa:
John
the Baptist proceeds farther; for, having formerly been raised by the Lord to
the highest dignity, he shows that this was only for a time, but now that the
Sun of Righteousness, (Malachi 4:2) has arisen, he must give way; and,
therefore, he not only scatters and drives away the empty fumes of honor which
had been rashly and ignorantly heaped upon him by men, but also is exceedingly
careful that the true and lawful honor which the Lord had bestowed on him may
not obscure the glory of Christ. Accordingly, he tells us that the reason why
he had been hitherto accounted a great Prophet was, that for a time only he was
placed in so lofty a station, until Christ came, to whom he must surrender his
office. In the meantime, he declares that he will most willingly endure to be
reduced to nothing, provided that Christ occupy and fill the whole world with
his rays; and this zeal of John all pastors of the Church ought to imitate by
stooping with the head and shoulders to elevate Christ[14]
Sejalan dengan tafsir
Piper, Mattew Hendry pun mengatakan “He must increase, but I must decrease. If
they grieve at the growing greatness of the Lord Jesus, they will have more and
more occasion to grieve, as those have that indulge themselves in envy and
emulation. John speaks of Christ's increase and his own decrease, not only as
necessary and unavoidable, which could not be helped and therefore must be
borne, but as highly just and agreeable, and affording him entire satisfaction.[15]
Bahwa pemahaman tentang Yesus harus semakin bertambah besar. Dan bahwa Yohanes
Pembaptis sedang berbicara tentang “Yesus lebih penting” daripada dirinya.
Lebih lanjut Mattew Hendry berkata
“He was well pleased to see the kingdom of Christ getting ground: "He must
increase. You think he has gained a great deal, but it is nothing to what he
will gain." Note, The kingdom of Christ is, and will be, a growing
kingdom, like the light of the morning, like the grain of mustard-seed. He was
not at all displeased that the effect of this was the diminishing of his own
interest: I must decrease. Created excellencies are under this law, they must
decrease. I have seen an end of all perfection.
Bahwa
Yohanes Pembaptis menatap pada Kerajaan Allah yang akan segera ditegakan di
bumi. Karena itu, Yesus harus makin besar. Juga, bahwa Kerajaan Allah akan
bertumbuh. Hal ini dapat kita pahami bahwa, jumlah orang percaya dan gereja
Tuhan pada masa itu dalam pemikiran Yohanes Pembaptis, pasti akan bertumbuh
jika Kristus makin besar. Kehadiran Yesus memberikan ekspektasi rohani (spiritual expctation) bagi Yohanes
Pembaptis. Harapan itu adalah bahwa Kerajaan Allah akan bertumbuh.
Realitas Pemimpinan Masa Kini Berkaitan dengan Penyakit
Megalomaniak dan Egomaniak
Pada
bagian kedua dari bukunya, “menolak status selebritas”, Goodell mengemukakan
bahwa sikap glamour dan kesuksesan yang didorong oleh ego dan rasa lapar akan
soroton di pusat panggung harus ditolak. Sebab “panggilan Allah tersebut
terlalu kudus, luhur, memilukan hati bahkan terlalu menakutkan”[16]
Sayangnya dalam kehidupan
sehari-hari kita sering dipenuhi oleh berbagai tipe dari orang-orang yang
mengidap penyakit “megalomania” dan egomaniak tetapi dengan suatu bungkus
rohani bahwa mereka melakukan tugas pelayanan tersebut semata-mata untuk
kemuliaan Kristus. Bukankah hampir di antara kita tidak bersedia untuk makin
bertambah kecil, agar Kristus makin bertambah besar? Kita lebih sering
menghendaki agar dalam nama Kristus yang bertambah besar, nama kita juga ikut
melambung tinggi.
Apabila ada pemimpin yang
demikian maka sebetulnya ia tidak dalm kondisi yang sehat. Atau oleh John
MacArthur, “seorang pemimpin harus menjaga nuraninya tetap jernih”.[17]
Ini berarti bahwa pemimpin harus menjaga pesan dan nurani.
Aubrey Malphurs mengatakan
bahwa peranan kepemimpinan Kristen yang pertama dan yang utama adalah melakukan
apa yang Allah inginkan untuk dia lakukan. Malphurs berkata, “Leaders must be able to articulate what God
has called them to do. Not to be able to do so is to invite disaster.”[18]
Apapun yang dilakukan seorang pemimpin, pertanyaan pertama yang harus selalu
ditanyakan sebelum bertindak adalah, “Apakah itu yang Allah inginkan untuk saya
lakukan?”
Pemimpin-pemimpin Kristen
harus tahu bahwa Allah tidak menyetujui sikap megalomaniak dan egomaniak. Jika
ada pemimpin yang mengidap penyakit tersebut adalah lebih menyembuhkan diri.
Harus melihat kepada Kristus. Henry J. M. Nouwen mengatakan bahwa kepemimpinan Kristen
tidak meneladani cara dunia memerintah yaitu dengan menggunakan kekuasaan,
tetapi dengan hati seorang hamba, sama seperti Yesus yang datang ke dalam dunia
untuk menyerahkan hidupnya untuk keselamatan orang banyak.[19]
Selanjutnya,
Ken Blanchard mengatakan bahwa para pemimpin yang berhati hamba memiliki
persamaan nilai dan karakteristik sebagai berikut; (1) Tujuan utamanya adalah
memberikan yang terbaik bagi orang yang dipimpinnya, (2) Sangat puas jika
terjadi pertumbuhan dan perkembangan dari orang yang dipimpin, (3)
Memperhatikan orang yang dipimpin, (4) Dengan senang hati memberikan
pertanggungjawaban, (5) Senang mendengarkan orang lain dan (6) ego yang
dikendalikan.[20]
Sementara itu, Thomas P.
Holland dan David C. Hester memberikan tiga karakteristik kepemimpinan Kristen
dengan berkata, ”For religious
organization seeking leadership that is well grounded in a particular faith
tradition, discernment and decision making are essential.”[21]
Yakob Tomatala juga memiliki pemikiran yang sama dengan Holland dengan berkata,
“Pemimpin Kristen dibentuk dengan faktor dasar yang ada pada setiap individu,
yaitu karakter dasar, pengetahuan dan pengalaman.”[22]
Salah satu karakteristik
terpenting dari pemimpin Kristen adalah harus berdasarkan Alkitab. J. Robert
Clinton berkata, The Bible is the leadership anchor. As a Christian leader,
above all else, I should be concerned that my leadership has something that is
unique. While there are many things that are common with secular leadership,
there should be this one difference: A Christian leader bases values,
methodology, motivation, and goals on what God has revealed in Scripture. The
Bible is the standard for evaluation of Christian leader.[23]
Pemimpin Kristen harus
menjadikan Kristus sebagai model dalam bercermin jika ingin bebas dari paranoid. Keinginan untuk mengekspos
diri dengan motivasi yang tidak mulia akan menyeret setiap pemimpin Kristen ke
dalam paranoid.
Kesimpulan
Yesus
dan Yohanes Pembaptis bukan pemimpin yang megalomaniak dan egomaniak yang mana
kedua hal ini disebut sebagai paranoid disorder. Sikap Yohanes Pembaptis
terhadap Yesus seperti yang ditunjukkan melalui sikap Yohanes Pembaptis dalam
Injil Yohanes 3:30 tidak menunjukkan indikasi atau kecenderungan kepada
megalomaniak dan egomaniak.
Sikap
yang ditunjukkan Yohanes Pembaptis harus sebagai contoh dan model dalam
mengatasi paranoid. Tidak ada cara
lain untuk menyebuhkan diri sendiri selain menjadikan Kristus sebagai yang
besar. Motivasi untuk menampilakan diri lebih dari “yang lain” hanya akan
menyeret pemimpin Kristen ke dalam megalomaniak dan egomaniak.
Membandingkan
kepribadian Yohanes Pembaptis dengan pemimpin-pemimpin Kristen masa kini maka ada
kecenderungan pada megalomaniak dan egomaniak sebagai paranois disorder.
Alderman,
W. Max. 2003. The Bible Believer’s
Handbook, Campbell: Bethel Baptist Church.
Boiliu,
Noh. 2010. Filsafat Kepemimpinan. Seri
diktat.
Calvn,
John, Commentaryy on John. Volume 1, Grand
Rapids: Christian Clasics Ethereal Library.
Goodell, Gary. 2013. Cara Yesus Memimpin. Sebuah Studi dalam Memahami Kepmimpinan Yesus yang
Chaordic, Yogyakarta: Andi Offset.
Holland
Thomas P. and David C. Hester. 1997. Building
Effective Boards for Jones, Laurie Beth. 1996. Yesus: Chief Executive Officer, Jakarta:
Mitra Utama. Religious
Organization
(California: Jossey-Bass Inc.
Mattew
Hendry Commentary, John Gospel
MacArthur, John. 2011. Kitab Kepemimpinan, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Nowmen, Henri
J.M. 2010. In the Name of Jesus (New
York: Crossroad. tt).
Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 7
edition, Oxford: Oxford University
Press.
http://www.preceptaustin.org/john_330_commentary.htm
[1] Telah dimuat di Jurnal Te Deum
[2] Gary
Goodell, Cara Yesus Memimpin. Sebuah
Studi dalam Memahami Kepmimpinan Yesus yang Chaordic, Yogyakarta: Andi
Offset, 2013
[3]
Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 7 edition, Oxford: Oxford University Press, 2010, p. 955
[4] Ibid
[5] ibid,
p. 490
[6] Noh, Filsafat Kepemimpinan. Seri diktat, 2010.
[7] Loc, cit
[8] Ada 7 ungkapan “Akulah
atau ego emi”.
[9] Laurie Beth Jones, Yesus: Chief Executive Officer, Jakarta:
Mitra Utama, 1997, hlm. 3-5
[10] Noh, Filsafat Kepemimpinan
[11] Loc. Cit
[12] W. Max, Alderman, The Bible Believer’s Handbook, Campbell:
Bethel Baptist Church, 2003, p. 50
[13]
http://www.preceptaustin.org/john_330_commentary.htm
[14] John, Calvn, Commentaryy on John. Volume 1, Grand
Rapids: Christian Clasics Ethereal Library, p.101
[15] Mattew Hendry
Commentary, John Gospel
[16] Goodell, ibid, h. 25
[17] John MacArthur, Kitab Kepemimpinan, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2011, h. 96
[18] Malphurs. 18.
[19] Henri J.M. Nowen. In the Name of Jesus (New York:
Crossroad. tt), 45.
[20] Ken Blanchard. 171.
[21] Thomas P. Holland and David
C. Hester. Building Effective Boards for
Religious Organization (California: Jossey-Bass Inc. 1996), 114.
[22] Tomatala. 78.
[23] Clinton. 181.
Komentar
Posting Komentar