Faith Development Theory James Fowler

Silahkan baca dan diagnosa diri sendiri; di level manakah iman Anda saat ini (iman Anda berkembang atau tidak. Dan silahkan membuat perbandingan antara umur biologis Anda dengan umur iman Anda. Masih butuh susu atau sudah layak jadi pengajar. Tapi ingat: meskipun Anda sudah mengajar, berkhotbah dll, bisa saja itu hanya dari segi kognitif iman, bukan afektif dan psikomotor {faith as believing, fatih as trusting and faith as doing). Silahkan jujur terhadap diri sendiri.

Bisa membaca lebih lanjut di:
James Fowler, Faith Developmet Theory (FDT), Yogya: Kanisius
Thomas H. Groome, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta: BGP Gunung Mulia, 2011

Setiap orang beragama, pasti menginginkan spiritualitasnya mengalami perkembangan (pertumbuhan) sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan atau digariskan oleh tokoh agamanya atau yang digariskan dan tertulis dalam kitab sucinya. Dalam agama Kristen, perkembangan ini tentu tidak berarti tidak dapat dilihat dan  tidak dapat diamati yang akhirnya tidak dapat dievaluasi. Melainkan sebaliknya. Tingkat dan perkembangan spiritualitas seseorang dapat dilihat, diamati, didiagnosa yang pada akhirnya dapat dievaluasi.

Perhatikan Ibrani 5:12-14, 12. Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras. 13. Sebab barangsiapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia adalah anak kecil. 14. Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat.

Teks di atas merupakan catatan dan evaluasi dari penulis kitab (sebagai yang mengamati perkembangan iman) terhadap perkembangan iman orang percaya. Sehingga ia memberikan evaluasi berkaitan dengan iman para audiens.

Dalam konteks ini, Fowler telah melakukan penelitian dengan pendekatan psikologi perkembangan untuk melihat perkembangan iman. Fowler menguraikan tujuh “kemampuan struktural” yang berbeda, atau kemampuan manusia yang khusus, yang membentuk kegiatan iman di setiap tahap tertentu: bentuk logika, bentuk koherensi dunia, kemampuan mengambil peran, kemampuan menempatkan otoritas, ba-tas-batas kesadaran sosial, kemampuan membentuk pertimbangan mo­ral, dan peran dari simbol-simbol.

Tahap Pertama: Iman Intuitif/Proyektif.
Ini adalah iman sese­orang kira-kira dari usia empat sampai delapan tahun, di mana makna dibuat dan kepercayaan dibentuk secara intuitif dan dengan cara meniru. Mengetahui terutama melalui intuisi, dan iman dibentuk dengan cara meniru suasana hati, contoh, dan tindakan-tindakan iman orang-orang lain yang penting yang dapat dilihat, terutama orang tua. Afeksi mendominasi. Mengetahui dan merasa bercampur. Otoritas berada da­lam orang tua dan orang-orang dewasa yang penting.
Anak mulai menemukan realitas yang melampaui pengalaman se­hari-hari dan di sanalah ia bertemu dengan batas-batas kehidupan, mi­salnya kematian, batas-batas pengetahuan dan kekuasaan, dan sebagainya. Akan tetapi, kepercayaan dialaskan kepada orang tua dan orang-orang dewasa utama yang lain, dan dunia dikenal (diketahui) secara in­tuitif memproyeksikan makna dengan cara meniru orang-orang dewasa tersebut (oleh karena itu, nama tahap ini intuitif/proyektif).
Tahap pertama adalah saat fantasi dan imajinasi yang bebas di ma­na gambaran-gambaran dan perasaan-perasaan yang dapat tahan lama (baik yang positif maupun negatif) dibentuk. Fakta dan fantasi belum dibedakan. Akibatnya, simbol-simbol diartikan secara harfiah dan Allah dipikirkan dalam istilah-istilah magis, antropomorfis (sebagai contoh, Allah adalah seorang pria tua yang memiliki janggut yang dapat mela­kukan apa saja). Memori dan kesadaran akan dirinya mulai timbul, dan kemampuan mengambil peran orang lain (empati) mulai ada, tetapi ha­nya dalam bentuk yang paling dasar.

Tahap Kedua: Mitis/Harfiah.

Tahap ini kira-kira terjadi antara usia tujuh atau delapan tahun sampai sebelas atau dua belas tahun. Ta­hap ini adalah tahap iman afiliatif di mana seseorang datang dengan le­bih sadar untuk bergabung dan menjadi anggota kelompok terdekatnya atau komunitas iman. Orang tersebut sekarang datang, dengan antusias, untuk mempelajari “tradisi, bahasa, dan legenda-legenda” komunitas tertentu dan memakai mereka sebagai miliknya sendiri. Ini dapat terjadi karena sekarang ia memiliki kesadaran yang lebih besar mengenai per-bedaan antara dirinya dan kumpulan orang-orang lain yang terdekat.
Sekarang cara membuat makna lebih bersifat linear dan naratif da­ripada bersifat episodik seperti dalam tahap satu. Lingkungan akhir mi­liknya dikonseptualisasikan dalam cerita-cerita dan mite-mite yang di­artikan secara harfiah (oleh karena itu, nama tahap ini mitis/harfiah). Kehidupan tampak mulai muncul.

Maka, pada tahap ini, iman adalah iman “yang bergabung” sese­orang secara sadar bergabung dengan kelompok sosial terdekat, meng­ambil cerita-ceritanya, simbol-simbolnya, mite-mitenya, dan ajaran-ajar-annya, dan memahami mereka secara harfiah. Kata-kata dari orang-orang yang lebih tua yang penting, berkuasa atas kata-kata dari teman-teman sebayanya. Kemampuan empatinya bertambah, tetapi hanya bagi mereka “yang seperti kami”, yaitu bagi para anggota kelompok terdekat.

Tahap Ketiga: Sintetis/Konvensional.

Tahap ini biasanya mulai pada usia sebelas atau dua belas tahun ketika pengalaman seseorang di-perluas melampaui kelompok sosial primer dan keluarga. Tahap ini da­pat berlangsung lama sampai masa dewasa, dan untuk sejumlah orang, tahap ini bertahan hingga ia berkeluarga secara permanen. Pada tahap ketiga, iman menafsirkan, menghubungkan diri dengan dan membuat makna keluar dari kehidupan sesuai dengan petunjuk-petunjuk dan kri­teria dari apa yang “mereka katakan”, dengan kata lain, sesuai dengan konvensi yang populer. Tahap ketiga adalah tahap “konvensional” atau “bersifat menyesuaikan diri”, di mana dalam tahap ini seseorang ingin sekali merespons dengan setia pengharapan-pengharapan dan keputus­an-keputusan orang-orang lain yang penting. Sampai tahap ini, orang belum memiliki pemahaman yang cukup mengenai identitas miliknya sendiri untuk membuat keputusan-keputusan yang otonom dari per-spektifnya sendiri.

Tahap ketiga adalah tahap yang lebih maju yang melampaui tahap dua di mana seseorang secara sadar membagi kehidupan ke dalam segmen-segmen atau “medan-medan tindakan” yang berbeda. Sekarang ada banyak “mereka-mereka” yang mempengaruhi cara seseorang me­ngetahui dan berhubungan dengan dunia-keluarga, sekolah, pekerjaan, gereja, teman-teman sebaya, etos waktu senggang, organisasi-organisasi, dan sebagainya. Setiap segmen kehidupan ini mungkin menyedia-kan pelbagai perspektif, pengharapan, dan cara membuat makna yang berbeda. Mereka tidak dapat dihindarkan dari konflik. Lalu, bagaimana orang yang berada pada tahap ketiga, bergantung pada otoritas di tiap-tiap medan tindakan, mencapai keseimbangan dan sintesis? Fowler me­negaskan bahwa sintesis dicapai dengan meletakkan otoritas-otoritas yang berbeda di bawah apa yang orang yakini sebagai otoritas yang pa­ling tinggi, atau dengan “penggolongan”. Penggolongan terjadi ketika se­seorang cenderung membuat makna dan menafsirkan dunia secara ber­beda dan mengandalkan sebuah kelompok di mana ia berada di dalam-nya. Secara khusus, dalam masalah-masalah agama ada kecenderungan yang kuat untuk mengandalkan otoritas institusional.

Maka, pada tahap ketiga, ada penambahan rasa percaya pada pen-dapatnya sendiri melebihi tahap kedua, tetapi hanya digunakan untuk memilih di antara otoritas-otoritas dan tidak mencakup inisiatif pribadi untuk memecahkan ketidakcocokan di antara otoritas-otoritas. Iman masih tidak dipilih sendiri, tetapi terus bersifat “konvensional”, dengan otoritas yang memperkuat ditempatkan di luar orang tersebut. Ada sin­tesis, tetapi bukan sintesis personal yang otonom. Lebih tepatnya, me­milih dan menyeimbangkan pelbagai pengharapan konvensional dari pelbagai dunia orang (oleh karena itu, tahap ini diberi nama sintetis/ konvensional). Ada kesadaran terhadap perspektif-perspektif iman orang lain, tetapi kecenderungannya adalah prasangka atau mengasimi-lasi perspektif-perspektif yang lain menjadi miliknya sendiri.

Tahap Keempat: Individuatif/Reflektif. 

Tahap ini biasanya tidak dimulai sebelum usia tujuh belas atau delapan belas tahun. Bagi sejum­lah orang, tahap ini muncul hanya pada usia 35 sampai 40 tahun, dan banyak orang dewasa tidak pernah mencapai tahap ini. Peralihan dari tahap ketiga ke tahap keempat adalah sangat penting terutama bagi kesi-nambungan perjalanan iman. Di sini sintesis konvensional tahap ketiga mulai runtuh karena tidak cocok antara dirinya dan pelbagai pengha­rapan konvensional dari “kelompok-kelompok” miliknya yang berbeda. Peralihan ke tahap keempat terjadi ketika kita tidak tahan lagi menjadi “orang yang berbeda” ketika kita ada bersama kelompok-kelompok yang berbeda, atau ketika kita menyadari bahwa kita tidak dapat menyerah-kan pembuatan makna kita bahkan pada otoritas yang tertinggi. Seka­rang tanggung jawab untuk melakukan sintesis dan membuat makna berubah dari mengandalkan otoritas konvensional ke arah bertanggung jawab sendiri atas komitmen-komitmen, gaya hidup-gaya hidup, keper-cayaan-kepercayaan, dan sikap-sikap. Akibatnya, sekarang ada tingkat otonomi yang berbeda secara kualitatif, melebihi tahap ketiga. Cara me­ngetahui dan berhubungan dengan dunianya, identitas dan pandangan hidupnya, merupakan pilihan yang dipilih sendiri dan dibedakan dari sikap-sikap dan pengharapan-pengharapan orang lain oleh kesadaran sendiri. Sesungguhnya, mereka menjadi faktor-faktor yang diakui dalam cara menafsirkan, menilai, dan bereaksi terhadap pengalaman miliknya.

Bahkan waktu seseorang mencapai iman yang lebih otonom, pada tahap keempat ada kesadaran baru yang ditemukan mengenai paradoks-paradoks dan polaritas-polaritas kehidupan. Keputusan-keputusan me­ngenai ambiguitas-ambiguitas kehidupan dan ketegangan-ketegangan yang berlawanan tidak lagi dapat dihindari sebagaimana ketika mereka berada pada tahap ketiga. Fowler mendaftarkan beberapa ketegangan yang berlawanan itu seperti “individu lawan komunitas; khusus lawan universal; reladf lawan absolut; melayani diri sendiri lawan melayani orang lain; otonomi lawan heteronomi; merasa lawan berpikir; subjek-tivitas lawan objektivitas.”

Sekarang kegiatan iman seseorang berusaha untuk menangani ketegangan-ketegangan ini dan mempertahankan ke-seimbangan di antara mereka. Akan tetapi, kecenderungan pada tahap keempat, khususnya dalam formulasinya yang awal, adalah merusak ketegangan dengan mendukung salah satu pihak. Orang mungkin mengambil pendekatan “satu di antara dua” terhadap masalah-masalah dan paradoks-paradoks yang demikian. Daripada polaritas-polaritas di-pertahankan dalam ketegangan yang produktif, mereka dirusak menjadi relaUvisme atau absoludsme. Ini juga nyata dalam hal perspektif-per­spektif milik orang lain daripada miliknya sendiri; kecenderungannya adalah masih mengasimilasi secara berlebihan daripada menerima me­reka dengan tulus dalam bentuk dialogis.
Tidak asing bagi seseorang yang berada pada tahap keempat berga­bung dengan komunitas yang memiliki ideologi yang kuat yang mena-warkan jawaban-jawaban yang sudah jadi terhadap ambiguitas-ambi­guitas dan paradoks-paradoks kehidupan. Akan tetapi, setidak-tidaknya penggabungan itu lebih didasarkan pada komitmen yang dipilih sendiri. Maka, tahap keempat adalah sebuah kemampuan baru untuk berdiri sendiri, dan kelompok miliknya dipilih berdasarkan refleksi dan bukan hanya diterima seperti pada tahap ketiga (oleh karena itu tahap ini dina-makan individuatif/reflektif).

Tahap Kelima: Iman Konjungtif.
 
Kegiatan iman pada tahap keli-ma jarang muncul sebelum setengah baya. Paradoks-paradoks yang se-belumnya dihadapi oleh sejumlah strategi pengurangan ketegangan se­karang diterima, diafirmasi dan ketegangan dimasukkan ke dalam cara “beriman” miliknya. Dalam bahasa sehari-hari, kehidupan tidak lagi di­lihat dari sudut satu di antara dua, tetapi ada kerelaan untuk hidup ber­sama ambiguitas-ambiguitasnya. Tentu saja ini tidak berarti kembali ke relativisme dan ambivalensi. Sebaliknya, ada kualitas komitmen oto­nom yang baru terhadap pandangan miliknya sendiri, meskipun meng­hargai dan terbuka dengan tulus pada kebenaran-kebenaran yang ada dalam pandangan-pandangan orang lain. Sebagaimana telah disebut, hal tersebut bukan relativisme, tetapi pengakuan bahwa pandangan mi­liknya bukan kebenaran yang final. Ini memerlukan keterbukaan yang tulus pada orang-orang lain dan kerelaan untuk berdialog dengan mere­ka meskipun berisiko mengubah cara seseorang membuat makna dan berhubungan dengan dunia miliknya. Sistem milik seseorang dilihat ke-ropos dan tidak lengkap bahkan di tengah-tengah komitmen yang kuat terhadap sistem miliknya sendiri.

Hal-hal yang khusus dihargai, tetapi hanya karena hal-hal khusus yang memiliki kemungkinan yang univer­sal. Simbol-simbol milik seseorang diperhatikan dan diafirmasi, tetapi juga “dilihat terus” sampai ke kemungkinan yang melampaui mereka. Iman tahap kelima melibatkan pemakaian kembali pola-pola ko­mitmen dan cara-cara membuat makna masa lampau. Akan tetapi, ini bukan kemunduran. Sebaliknya, hal tersebut adalah memperoleh kem­bali “kebenaran-kebenaran lama” dengan cara yang baru, mengafirmasi secara pribadi kebenaran yang ada di dalam kebenaran-kebenaran yang lama, mengambil kekuatan mereka, tetapi menolak pembatasan-pemba-lasan mereka. Jika tahap ketiga adalah tahap yang tergantung (depen­dant) dan tahap keempat adalah tahap yang tergantung pada diri sendiri (self-dependent), maka tahap kelima adalah tahap yang saling tergantung di mana seseorang dapat bergantung pada orang lain tanpa kehilangan kebebasannya. Sekarang ada empati dan kepedulian yang aktif bagi se­mua orang dan kelompok, bagi seluruh umat manusia, dan tidak hanya bagi komunitas terdekat miliknya sendiri.

Tahap Keenam: Iman yang Mengacu pada Universalitas.

Ketika Fowler berbicara mengenai tahap keenam, bahasanya menjadi agak puitis. Kelihatannya ini tidak dapat dihindarkan karena kegiatan iman tahap keenam sulit untuk dikemukakan dalam bahasa percakapan sehari-hari.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Edward Sallis: Total Quality Management

Sosiologi Pendidikan (Ringkasan dari buku Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si)

Psikologi Pendidikan Kristen (Sentot Sadono)