Eksistensi Manusia dan Keberadaan Sang Tuhan



Tuhan menjadi "momok" berpikir bagi pikiran manusia. Manusia menimpatkan Tuhan di celah ada dan waktu. Persoalan ada dan waktu memaksa manusia harus mengakui atau menerima halikhwal tentang Tuhan. Manusia sebagai makhluk yang ada dan keberadaannya adalah ada di dalam waktu karena itu disebut makhluk fana. Ada dan waktu dalam eksistensi manusia membuat eksistensi manusia berpelukan erat dan mesra dengan waktu (being and time). Manusia tidak di luar waktu (jika di luar waktu maka tidak disebut fana) melainkan di dalam waktu. Eksistensinya dalam waktu membuat manusia tidak tahu apa-apa tentang wajtu yang akan datang (hanya bisa memprediksi). Ketidaktahuan inilah manusia berpikir untuk memecahkan misteri waktu sehingga dapat dengan pasti membuat rujukan untuk memastikan hal-hal yang bertalian dengan waktu yang akan datang. Manusia memecahkan itu dengan menempat perihal Tuhan di antara space "ada dan waktu". Tuhan lalu menjadi penting bukan karena persoalan "selamat atau tidak selamat" melainkan ketidaktahuan dan ketakberdayaan atas diri dan waktu. Persoalan selamat atau tidak selamat merupakan akibat dari ketidakhuan manusia tentang hal setelah tiada. Maka persoalan selamat dan tidak selamat dipertegas dan diperkuat manusia karena ketidakmampuan menembusi waktu. Satu pertanyaan, bila manusia dapat menembus dan memcahkan misteri waktu, apakah perihal Tuhan masih ada dan berlaku? 

Persoalan selamat dan tidak selamat kemudian harus dipecahkan. Caranya, Tuhan ditempatkan dibalik waktu juga. Manusia berusaha memecahkan misteri namun dengan menempatkan misteri yang lebih misteri lagi, manusia berusaha menjawab pertanyaan namun dengan membuat pertanyaan yang lebih sulit. Siapakah yang berani memcahkan misteri dibalim yang fisis atau yang metafisis. Untuk mengurainya, manusia lalu membuat dan mengenakan istilah. Karena juga tak terpecahkan maka "ya kamu percayai saja". Yakinlah bahwa "dibalik itu putih" dengan menciptakan fenomen-fenomen untuk meyakinkan bahwa itu putih. Mungkin ada yang menganggap gaya berpikir ini aneh (menempatkannya pada kolom atheis). Manusia menyusahkan diri sendiri dengan menciptakan dan  menempatkan Tuhan sebagai oposan dan memproyeksikan yang ia tidak mampu pecahkan itu sebagai yang disebut Tuhan. 

Persoalan ada dan waktu memaksa mau tidak mau harus mengiyakan bahwa yang dibalik itu ada yang berkuasa. Dibalik ketidaktahuan dan ketakberdayaan manusia dalam eksistensinya manusia berkata itu Tuhan. Apakah ya, ketakutan manusia akan waktu "yang akan datang" sebetulnya itulah yang menjadi Tuhan sehingga membuat manusia menciptakan tokoh oposan untuk menyelesaikan persoalan ketidaktahuan dan kegalauan.
Sifat asli manusia tidak akan pernah tertutupi. Contoh, jika ada dua barang yang anda lihat, lalu diberitahu, yang ini boleh dan yang itu tidak boleh. Lalu anda mengiyakan untuk tidak mengambil apalagi menggunakannya namun sebetulnya anda tidak suka dengan "yang itu tidak boleh yang ini saja". Anda sudah "ngebet" ingin yang itu. Maka secara psikologis itu akan tertangkap lewat gejala fisis. Sama dengan anda berkata, aku tidak benci dia tetapi begitu anda berhadapan dengan dia maka segala gerak (mimik muka, kata-kata, posisi tubuh, gaya komunikasi, istilah yang dipakai, dll) anda secara fisis akan tertangkap yang merujuk pada keadaan di dalam hati bahwa anda benci dia.
Kembali ke hal ada dan waktu, kita mengiyakan soal ada Tuhan dan getol berbicara tentang Tuhan namun tidak serius soal yang digetolkan. Lihat saja, antara apa yang kita getolkan dan apa yang kita tonjolkan pasti tidak menonjolkan hang digetolkan atau digetoli.
Persoalan ini sudah dalam sejarah, dan fenomena ini ada disetiap agama. Kristen dibawa jauhhh dari sana, nyebrang laut dan daratan. Yang akarnya pun tak jauh beda dengan kepercayaan-kepercayaan primitif di indonesia, hanya saja yang dibawa itu (karena mau diekspor) sudah mengalami "peremasan (untuk dapat yang baik-apakah yang baik selalu harus...) dan pengemasa serta moderenisasi. Sehingga ketika tiba, maka kita harus menggantinya, kamu keliru, kamu doanya salah, lah kok bisa, ya, kamu doanya di bawa pohon "duren". Nih, ganti, mulai besok doanya di gedung, datang pake jas (kalau sarung, boleh nda, boleh. asal tidak ada 'motif' binatang totem). Boleh bakar kemenyan nda, nda boleh, boleh ke kuburan nda, ndaaaaak boleh. Bagaimana dengan sebelum dibawa menyeberang lautan, bukankah juga demikian dan berakar di sana. Ini soal historisitas agama. 

Manusia berusaha memecahksn kebuntuan waktu.
Getolilah yang kau getolkan. Seorang penulis anonim berkata, bagus zekali kau baru saja negatakan kepadaku tentangTuhan, namun kamu bohongi aku tentang Tuhan (dalam diskusinya bersama temannya). Kok bisa, ya kamu bohongi aku bahwa Ada Tuhan dan yang berTuhan itu orang baik apalagi yang Kresten. Kau bohongi aku, kemarin baru kau bercerita kalau kau menggelapkan uang kantor. Jadi, apakah kau berTuhan?
Lanjut lain waktu, tidur dulu sambil merenungkan,,,

Lepas dari yang di atas,
Sehari yang lalu, setelah saya selesai mengajar lalu datanglah seorang mahasiswa dan bertanya kepada saya, pak "orang Kristen itu menyembah Tuhan yang mana: Tuhan yang menjadi manusia atau manusia yang menjadi Tuhan (Kalau yang kedua, Erick Froom pernah menulis buku dengan judul seeperti itu, Man to be God). Lalu saya bertanya kepadanya, mengapa kamu bertanya demikian. dia kemudian melanjutkan pertanyaannya, kalau memang Tuhannya adalah Tuhan yang menjadi manusia mengapa harus berbeda ekspresi saat beribadah? kalau berbeda seharusnya Tuhannya berbeda. mungkin ada yang menjawab ya itu persoalan pendekatan dalam tafsir. Namun anak ini tidak menerima begitu saja. Ia sedang mempertanyakan sesuatu yang menohok dia mengapa berbeda di tingkat praksis?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Edward Sallis: Total Quality Management

Sosiologi Pendidikan (Ringkasan dari buku Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si)

Psikologi Pendidikan Kristen (Sentot Sadono)