Perjumpaan Rasul Paulus Dengan Kristus Pneumatis: Titik Kulminasi Religiustasnya

PERJUMPAAN RASUL PAULUS DENGAN KRISTUS PNEUMATIS: TITIK KULMINASI RELIGIUSITASNYA Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman religious kepada setiap umat Tuhan. Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologis historis-hermeneutis. Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa setiap umat Tuhan yang memiliki pemahan yang benar tentang imannya yang ditunjukkan dalam kemanunggalingan hidup dengan Kristus maka akan membawa dampak terhadap nilai dan kualitas spiritual yang dapat mewujud dalam pola laku keseharian di masyarakat seperti yang diteladankan Rasul Paulus. Bertolak dari hasil di atas maka penulis menyarakan agar setiap umat Tuhan membenahi, membangun dan memantapkan pemahaman keimanan tentang Kristus sehingga membawa perubahan bagi diri dan lingkungan masyarakatnya Kata Kunci: Perjumpaan, Kristus Pneumatis, Kulminasi Religiusitas Pendahuluan Paulus merupakan rasul Kristus (bukan langsung) yang “fenomenal”. Proses Paulus menjadi rasul tidak seperti dua belas rasul lainnya yang dipilih secara langsung oleh Kristus semasa dalam pelayananNya di bumi. Paulus menjadi rasul diawali dari perjumpaannya dengan Kristus dalam perjalanan ke Damsyik. Kisah perjumpaan Paulus (kala itu disebut Saulus) dengan Kristus terjadi secara personal. Perjumpaan itu mempertemukan dirinya dengan Kristus “pneumatis”. Perjumpaan itu tidak diwakilkan oleh siapapun dan bersifat ekistensialistik. Pasca perjumpaan dalam perjalanan ke Damsyik, Paulus berada dalam satu dimensi spiritualitas yang baru dan saya menyebutnya sebagai berada dalam “religiusitas yang eksistensial”. Henderick Copleston dalam Ostina Panjaitan, mengatakan bahwa “an existing individual is himself in process of becoming...in existence the watchword is always forword”. Bahwa keberadaan individu adalah proses yang terus menerus. Bahkan eksistensi adalah “the child that is born of the infinite and the finite, the eternal and tempraol, and is therefore a constant striving”. Eksistensi lahir dari yang tak terbatas, yang kekal (eternal) dan sementara (temporal) dan berlangsung terus-menerus. Dan Soren Kierkegaard mengatakan bahwa “hubungan sejati manusia dengan Allah akan membawanya mencapai eksistensinya yang sejati”. Atau kesejatian eksistensi manusia sejauh manusia berada dalam hubungan yang sejati (eksistensial, personal, tanpa topeng, tanpa kemunafikan, atau ketenangan hati dan keberanian, kesetiaan dan sikap melayani; kegembiraan yang tenang. Lihat catatan kaki 1). Bahkan, Martin Heideger, memandang bahwa ”esensi manusia terletak dalam eksistensinya”. Dalam hal ini, Heideger memlihat manusia sebagai makhluk yang terus bergerak atau terus mengaktualisasikan diri. Aktualisasi diri manusia (selfactualisation) pun akan terungkap dalam cara beradanya (eksistensinya). Dalam segi ini, Paulus sebagai orang yang mengalami perubahan pasca perjumpaannya dengan Kristus tentu menunjukkan aktualisasi dirinya sebagai manusia ”bertuhan” maka esensi diri sebagai yang ”ber-Tuhan” terlihat dalam cara ”laku” atau cara berada. Bahkan dapat dikatakan bahwa ada ”reaktualisasi keyakinan Paulus sebagai manusia ber-Tuhan”. Yang dimaksudkan dengan reak tualisasi di sini adalah awalnya Paulus memang adalah manusia bergama (homo religion) yang giat dengan kegiatan keagamaannya namun pasca perjumpaan itu, ia mengalami perubahan paradigma dalam segi keberagamaannya dan ia tunjukkan melalui ”laku” sikap diri, konsep diri (self consept), pengetahuan (knowledge). Hal ini kita tangkap dari ungkapan Paulus ”semua yang dahulu adalah sampah”. Inilah yang juga saya setujui dari pernyataan Kierkegaard bahwa hubungan sejati manusia dengan Allah akan membawanya mencapai eksistensinya yang sejati. Perjumpaan itupun kemudian tidak (melulu) menjadi pengalaman supranatural yang tidak dapat dimaknai dalam alam natural manusia. Pengalaman supranatural rasul Paulus dalam perjumpaannya dengan Kristus “pneumatis” dapat dimasuki dimensi spiritualitasnya melalui “sikap rasul Paulus terhadap Kristus” dan tulisan-tulisan rasul Paulus. Nah, dalam konteks perjumpaan Paulus yang kemudian membentuk konsep diri, konsep keagamaan dan teologinya inilah saya ingin membentangkannya meski singkat. Oleh karena dua pokok permasalahan ini, pengalaman religius Paulus dan tulisan-tulisan Paulus (yang telah dikanonkan menjadi tulisan yang berotoritas sebagai Firman Tuhan) berada dalam kajian fenomenologis. Saya memasukan kajian atas “lapangan pengalaman Paulus” dan “tulisan-tulisan Paulus” sebagai dua hal yang mengkristal dalam istilah “religiusitas” baik “fenomenologi” “historis” maupun “hermeneutis”. Dengan demikian, metode fenomenologis historis-hermeneutis digunakan sebagai metode pendekatan. Penggunaan metode ini karena “metode ini mencoba menangkap dan menginterpretasikan setiap jenis perjumpaan manusia dengan yang suci”. Karena itu “metode fenomenologis tidak hanya menghasilkan suatu deskripsi mengenai fenomena yang dipelajari, sebagaimana yang diperkirakan, tidak juga menerangkan hakikat filosofis dari fenomena itu; sebab fenomenologi agama bukanlah deskriptif atau normative belaka...metode ini memberikan kepada kita arti yang lebih dalam dari suatu fenomena religius, sebagaimana dihayati dan dialamai manusia-manusia religius”. Interpretasi (hermeneutis) menjadi catatan penting kala berhadapan dengan pengalaman azasiah religius rasul Paulus. Perjumpaan rasul Paulus dan tulisan-tulisan rasul Paulus menjadi pengamatan (objek). Dunia kehidupan (lebenswelt) religius rasul Paulus menjadi realitas yang ditangkap dan dinyatakan dalam data teks bahkan pengalamannya menjadi realitas tersendiri yang meski sudah terungkap lewat data tekstual (surat-surat kirimannya) namun pengalamannya yang kita tangkap sebagai fenomena psikologis religius dapat kita ungkapkan tetapi “yang lainnya” mungkin kita hanya bias memahaminya. Fenomenologi sebagai Metode Pendekatan Kata fenomenologi mengacu pada istilah Yunani phainomenon atau phainesthai yang artinya menampakkan atau memperlihatkan. Phainomenon memiliki arti “objek persepsi, apa yang diamati, apa yang tampak pada kesadaran kita, pengalaman inderawi, apa yang tampak pada panca indra kita dan peristiwa yang dapat diamati”. Awalnya, fenomenologi baru berarti fenomenologi psikologis, yakni hanya mendeskripsikan “apa yang ditangkap” atau “gejala” namun tidak mencari “sebab-sebab dibalik gejala”. Untuk itu Husserl menganggap bahwa untuk mengerti gejala-gejala, kita harus kembali pada benda-benda itu sendiri sebagai objek. Sebab objek harus dibiarkan berbicara sendiri. Ini merupakan pemikiran Husserl sebelum tahun 1908. Namun setelah tahun 1908, Husserl berubah. Perubahan ini dapat dilihat pada focus atau perhatian Husserl. Husserl tidak lagi berfokus pada “benda-benda” sebab benda-benda bukan merupakan objek melainkan pada “kesadaran”. Baginya objek ada oleh karena kesadaran atau kedaranlah yang menciptakan objek. Peralihan focus Husserl dari objek kepada kesadaran karena “kesadaran” merupakan “asal kenyataan”. Ini berarti yang ada hanya subjek yang sadar sehingga dengan demikian Husserl menolak bipolaritas dan fenomenologinya menjadi “fenomenologi transcendental”. Peralihan ini sekaligus mendekatkan Husserl pada idealisme Hegelian. Ini juga merupakan suatu pembiasan, di mana fenomenologi berusaha menyusun langkah-langkah yang sistematis dan memberikan dasar yang tak terbantahkan oleh ilmu pengetahuan. Tujuannya adalah untuk mengangkat eksistensi manusia dan pengalaman asazi manusia dan melawan empirisme dan psikologisme. Inilah tujuan semula. Namun dalam perkembanganna, ada kecenderungan pada metode fenomenologi sehingga Husserl gagal mengangkat persoalan-persoalan eksistensial yakni persoalan antara ada dengan dunia yang nampak. Penolakan bipolaritas ini, berujung pada pembelotan murid-murid Husserl. Di mana manusia hadir dan sebagai ada dan mengarah pada benda-benda sebagai realitas. Maka dari itu harus melihat problem-problem di antara ada dengan dunia yang nampak. Dunia yang nampak bukan merupakan hasil kesadaran subjek seperti yang dipahami Husserl melainkan merupakan realitas yang nampak. Adagium Tentang Manusia Selain itu, kehadiran manusia dalam dunia juga merupakan suatu “modus ada”. Sehingga dengan memahami dan mengerti manusia sebagai “modus ada” merupakan langkah maju dalam pemenuhan syarat bagi basis ontology. Manusia merupakan suatu realitas “ada” bahkan sebagai orientasi kepada metafisika. Selain manusia sebagai “ada” maka di tengah-tengah manusia sebagai “ada” maka ada “ada-ada” yang lain. Untuk membuka simpul “ada-ada” tersebut atau untuk mendapatkan jawaban mengenai “ada-ada” tersebut, manusia hadir sebagai “ada” yang representative dalam memberikan jawaban. Bahkan “ada-ada” tersebut diberi predikat oleh manusia atau diberi makna dan nilai oleh manusia. apakah pemberian nilai dan makna itu adalah karena manusia adalah subjek? Filsuf-filsuf eksistensialisme, seperti Heidegger, Sartre, Merleau Ponty, E. Levinas dan Gabriel Marcel, memahami hubungan subjektif dan dunia infrahuman sebagai hubungan yang memberi arti. Dalam artian infrahuman menerima arti dari subjek. Manusia (dasein) selalu ada di dunia (welt as mitsein) dan bersama-sama dengan orang lain (mitdasein). Manusia memelihara (besorgen) semua infrahuman sehingga bukan hanya berkedudukan terisolir (vorhanden) melainkan diberi arti dan nilai di dalam pergaulan dan hubungan/zuhanden. Pemberian arti itu oleh karena keberadaan atau eksistensi dan kesadaran manusia yang khas di tengah-tengah dunia infrahuman. Dengan manusia menjadi orientasi kepada metafisika tentu manusialah yang dapat memikirkan tentang dirinya sebagai modus ada dan “ada-ada yang lain”. Sekalipun “ada-ada yang lain” ada, namun tidak dapat sadar tentang dirinya sebagai “modus ada”. Hal seperti ini yang mendorong orang untuk bertanya apakah manusia memiliki kecukupan “ada” sehingga kepada manusialah kita harus bertanya bahkan untuk mendapatkan jawaban dan mengapa tidak kepada “ada yang lain”? Ya, tentu sebab manusia memiliki kecukupan tersebut sehingga ia mampu berpikir tentang dirinya, mampu memberi makna pada dunia di sekitarnya. Ia jugalah yang berpikir dan memikirkan diri dalam hubungan dengan Tuhan dan dunia infrahuman bahkan sebagai titik pangkal dalam bermetafisika. Di sini manusia dilihat sebagai suatu modus ada sehingga tidak ada spekulasi yang muncul mengenai manusia. Dalam eksistensinya, manusia hadir sebagai makhluk yang secara representative memenuhi unsur material dan spiritual. Dalam unsur material manusia sama dengan makhluk yang lain namun unsur spiritual merupakan unsur yang tak terbantahkan dan dimiliki oleh manusia sekaligus menjadi faktor pembeda dari makhluk yang lain. Unsur ini membuat manusia berbeda secara tajam dengan “yang lain”. Ernest Cassirer berkata manusia adalah animal simbolicum artinya manusia ialah makhluk yang mengenal symbol, misalnya adat istiadat, kepercayaan dan bahasa. Inilah kelebihan manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada binatang yang hanya mengenal tanda dan bukan symbol. Sedangkan Aristoteles menyebut manusia sebagai animal rationale artinya manusia ialah binatang yang mempunyai rasio, zoon politikon, dan makhluk “hylemorfik”, artinya makhluk yang terdiri dari materi dan bentuk-bentuk. Dalam keberadaannya atau eksistensinya, manusia sebagai modus ada menerima makna dari “Ada khusus” dan sebaliknya manusialah yang bertanya tentang “Ada khusus itu”. Kecukupan manusia sebagai “ada” memungkinkan untuk mengetahui, menerangkan dan mendeskripsikan “ada yang lain” bahkan dirinya. Namun, ketika hendak menerangkan, mengetahui atau mendeskripsikan “dirinya atau self exixtence” tidaklah mudah. Untuk menangkap hal tersebut atau dengan kata lain untuk menganalisisnya maka diperlukan metode. Metode yang dipergunakan adalah metode fenomenologis. Joko Siswanto dalam bukunya “Metafisika Sistematik” mengatakan bahwa “untuk membongkar atau menganalisis struktur eksistensial ini metode yang digunakan adalah metode “fenomenologi eksistensial” yang baginya metode ini sama dengan atau identik dengan “lingkaran hermeneutis”. Metode fenomenologi digunakan untuk mengungkap makna dan hakikat tetapi di manakah kita menemukan makna dan hakikat fenomena itu? Slogan yang biasanya diungkapkan oleh penganut paham fenomenologi adalah zu den sachen lebst artinya terarah pada benda itu sendiri. Dalam keterarahan kepada benda tersebut maka benda itu sendirilah yang akan mengungkapkan dirinya sendiri; yang terungkap melalui fenomen-fenomen. Dalam konteks ini, tentu manusia tidaklah sama dengan benda. Tetapi metode yang digunakan untuk mengungkap eksistensi manusia adalah sama. Manusia adalah manusia yang tidak lepas dari dunia bahkan dari manusia lain. Dalam perkataan yang lain manusia terbuka bagi dunia dan manusia lain (sesamanya). Dengan adanya keterbukaan tersebut sangat diperlukan “kepekaan, pemahaman dan komunikasi” maka sangat memungkinkan bila muncul rasa senang, kecewa dan lain-lain. Ini merupakan suasana batin. Suasana batin tersebut diungkapkan melalui fenomen-fenomen untuk membangun pemahaman (verstehen) kita. Sekalipun demikian untuk mengungkap sesuatu yang asali, kita harus sedikit tidak menghiraukan atau dengan perkataan lain tidak berhenti sampai pada apa yang kita tangkap dalam fenomena itu melainkan menerobos batas-batas fenomena sehingga di sana kita menemukan “apa adanya dalam dirinya” apa yang ada di hadapan kita. Keterarahan kepada benda itu sendiri tidak secara langsung membuat fenomena itu mengungkapkan hakikatnya. Edmund Husserl menyebut tahap ini sebagai the first look. Bagi Husserl , bila pengamatan pertama tidak sanggup membuat fenomena itu mengungkapkan hakikatnya maka diperlukan pengamatan kedua atau the second look. Pengamatan kedua ini disebut pengamatan “intuitif”. Pengamatan intuitif sendiri harus melewati tiga tahap reduksi. Yakni reduksi fenomenologis, eidetic, dan transendental. Inilah metode pendekatan yang dikemukakan Edmund Husserl berkaitan dengan pendekatan dalam mengungkap hakikat fenomena. Pemikiran Husserl sendiri cukup mempengaruhi pemikiran para eksistensialis. Eksistensialisme berupaya untuk memahami manusia dalam cara beradanya yang khas di antara benda-benda sebab benda-benda tidak bereksistensi. Pemahaman (verstehen) manusia atas dirinya adalah dikarenakan ia dapat keluar (Latin: exsistere; dalam istilahnya Heidegger adalah dasein) dari dirinya. Untuk berhasil dalam memahami “berada” itu dan dalam hubungannya dengan benda-benda sekitarnya maka harus dipergunakan metode fenomenologis. Pra Perjumpaan Paulus yang semula bernama Saulus adalah pemuda yang berlatar belakang Yahudi. Ia berasal dari golongan Farisi atau salah satu partai nasionalis dalam Yudaisme yang terkenal sangat keras. Ia dilahirkan di kota Tarsus, daerah Kilikia; salah satu kota yang cukup terkenal di Asia kecil. Dan di Tarsus-lah Paulus kecil menghabiskan masa kanak-kanaknya. Sesuai tradisi Yahudi, setiap anak laki-laki harus belajar tentang tradisi-tradisi Yahudi dan kitab-kitab. Di samping itu, ia pun belajar membuat tenda, yang mana dalam (kemungkinan) kurikulum, siswa tidak hanya belajar menuntut ilmu melainkan juga keterampilan. Ia kemudian pindah ke Yerusalem untuk menempuh studi di sana. Kepindahan Paulus dikarenakan, orang tuanya tidak ingin anaknya hidup di kota yang penuh dengan kekafiran. Bahkan, bagaimanapun juga fanatisme orang tua Paulus begitu kuat (orang Yahudi pada umumnya) di mana tidak juga menginginkan anaknya terkontaminasi dengan budaya dan pemikiran Yunani. Meskipun sulit memungkirinya, sebab Tarsus merupakan salah satu kota perdagangan, bisnis dan pendidikan tinggi, sehingga setiap anak yang berada di kota itu lambat laun terpengaruh ole hide-ide Yunani yang kafir. Yerusalemn merupakan pusat dunia Yahudi. Karena itu, Paulus dikirim ke kota ini untuk belajar pada Raban Gamaliel. “Gamaliel, cucu Hillel merupakan pengganti Rabi Hillel – 60 sM – M”. Dalam tradisi Yahudi, ada dua aliran sekolah yang memiliki kredibilitas akademis yakni bet hillel dan bet syamai. Kedua aliran ini memiliki metode pendekatan yang berbeda. Pasca kehancuran Yerusalem tahun 70, banyak sekte-sekte yang ikut lenyep. Hanya bet hillel yang eksis. Eksistensi bet hillel nantinya akan berpengaruh terhadap keputusan-keputusan bagi hokum Yahudi dalam misynah yang mana menjadi fondasi dari Talmud. Bagaimanapun, Gamaliel memiliki pengaruh yang sangat besar secara raligius-politis. Hal ini dapat kita mengerti berkaitan dengan pengaruh Gamaliel pada masa pelayanan rasul-rasul Kristus seperti yang dicatat oleh Lukas dalam Kisah Para Rasul 5:34-38. Paulus menyuruh keluar orang-orang (kemungkinan besar, orang-orang yang disuruh keluar adalah orang-orang yang hadir untuk menyaksikan jalannya pengadilan). Sesudah itu ia berkata “hai pria-pria Israel, berilah pertimbangan yang benar…”. Mengingat posisi Gamaliel dalam masyarakat Yahudi, ia adalah seorang ahli Taurat – nomodidaskalos . Robertson’s Word Pictures Commentary “but there is no evidence of either position. Besides, he appears here as a loyal Pharisee and “a doctor of the law”. Kemungkinan besar Yesus bertemu dengan Gamaliel di bait Allah ke ia datang bersama kedua orang tuanya (Luk 2:47); juga tampil sebagai kritikus ketika Yesus melayani (Lukas 5:17). Dasar pertimbangan Gamaliel adalah berdasarkan kejadian-kejadian yang secara factual pernah terjadi dimana ada sekte-sekte yang melalukan hal serupa namun ahkhirnya lenyap. Atas dasar itulah, Gamaliel berkata kepada laki-laki/pria-pria (kemungkinan petinggi-petinggi dalam Mahkamah Agama) untuk membuat suatu pertumbangan yang logis. Gamaliel mengungkapkan hipotesisnya berkaitan dengan kasus tersebut “sebab jika tidak, kamu tidak melenyapkan mereka melainkan melawan Allah”. Tesisnya adalah “hal sekte/gerakan keagamaan yang berasal dari manusia akan lenyap sebaliknya hal ajaran yang berasal dari Allah akan tetap eksis. Tetapi jika dari Tuhan, kamu tidak mempunyai kekuatan untuk menghancurkan mereka. Tetapi seorang Farisi dalam Mahkamah Agama itu, yang bernama Gamaliel, seorang ahli Taurat yang sangat dihormati seluruh orang banyak, bangkit dan meminta, supaya orang-orang itu disuruh keluar sebentar. Sesudah itu ia berkata kepada sidang: "Hai orang-orang Israel, pertimbangkanlah baik-baik, apa yang hendak kamu perbuat terhadap orang-orang ini! Sebab dahulu telah muncul si Teudas, yang mengaku dirinya seorang istimewa dan ia mempunyai kira-kira empat ratus orang pengikut; tetapi ia dibunuh dan cerai-berailah seluruh pengikutnya dan lenyap. Sesudah dia, pada waktu pendaftaran penduduk, muncullah si Yudas, seorang Galilea. Ia menyeret banyak orang dalam pemberontakannya, tetapi ia juga tewas dan cerai-berailah seluruh pengikutnya. Karena itu aku berkata kepadamu: Janganlah bertindak terhadap orang-orang ini. Biarkanlah mereka, sebab jika maksud dan perbuatan mereka berasal dari manusia, tentu akan lenyap, tetapi kalau berasal dari Allah, kamu tidak akan dapat melenyapkan orang-orang ini; mungkin ternyata juga nanti, bahwa kamu melawan Allah." Nasihat itu diterima. KPR 5:34-39. Keliberalan Gamaliel terlihat dalam pandangannya terhadap ajaran Yesus yang disebarluaskan melalui murid-murid-Nya. Ia dikenal karena sikapnya yang lebih toleran dan liberal dalam keputusannya dalam segi hukum keagamaan. Sekolah yang ada dibawah asuhan Gamaliel merupakan salah satu sekolah terpandang. Hillel mengembangkan suatu ajaran agama Yahudi yang maju dan liberal bila dibandingkan dengan Syammai. Misalnya, ia mengajarkan bahwa seorang laki-laki dapat menceraikan isterinya jikalau istrinya tidak menyenangkan dalam hal apapun juga. Tetapi Syammai memberi pengecualian, hanya legal bila terjadi dosa moral yang berat. Ajaran Hillel ini, oleh sebagian orang dipandang sebagai dasar dan acuan Yesus tentang perceraian – Markus 10:1-12. Atau tentang penginjilan, Syammai berpandangan bahwa orang non Yahudi tidak memiliki tempat dalam rencana Allah, sebaliknya Hillel tidak demikian. Paulus sangat fanatic terhadap agama Yahudi. Bahkan dari pengakuannya, ia sering menganiaya orang-orang Kristen bahka membunuh orang-orang kudus. Di hadapan raja Agripa, Paulus bersaksi bahwa “Hal itu kulakukan juga di Yerusalem. Aku bukan saja telah memasukkan banyak orang kudus ke dalam penjara, setelah aku memperoleh kuasa dari imam-imam kepala, tetapi aku juga setuju, jika mereka dihukum mati. Dalam rumah-rumah ibadat aku sering menyiksa mereka dan memaksanya untuk menyangkal imannya dan dalam amarah yang meluap-luap aku mengejar mereka, bahkan sampai ke kota-kota asing – Kisah para Rasul 26:10-11." Paulus pra perjumpaan adalah Paulus yang masih dalam perspektif religiositas Yudaisme yang mana ia sendiri memandang hukum taurat sebagai yang dibuat manusia (Roma 10:1-4). Bagi Paulus, pengalaman Damsyik merupakan suatu pengalaman batin yang bersumber dari wahyu Allah sendiri. Paulus sendiri memberi kesaksian bahwa ia sangat rajin memelihara adat istiadat nenek moyang, ia adalah seorang Yahudi dari golongan Farisi – ini religiositas lama Paulus. Perjumpaan dengan Kristus merupakan peralihan dari religiositas lama kepada yang baru. Ia tidak lagi berada dibawah pengawasan hukum taurat melainkan dibawah hukum Kristus (Gal. 3:23-24). Sebelum pertobatan Paulus, Paulus digerakan oleh semangat hukum taurat namun setelah itu, ia lebih digerakan oleh semangat Roh Kudus yang bermula dari perjumpaan dan juga seperti ungkapan pokok yan boleh kita sebut mottonya “bagiku hidup adalah Kristus – Filipi 1:21 dan “Kristus hidup dalam aku – Galatia 2:20”. Salah satu anti tesis Paulus tentang hukum taurat adalah tesis tentang pembenaran. Tesis Paulus tentang pembenaran adalah bahwa hukum taurat itu penuntun (Gal. 3:23,24) dan bahwa orang yang melakukan hukum taurat-lah yang akan dibenarkan (Roma 2:13). Di Roma 3:20, Paulus menghadirkan anti tesis tentang hukum taurat bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan karena melakukan hukum taurat justru karena hukum taurat orang mengenal dosa. Ini merupakan anti tesis Paulus untuk menghadirkan tesis baru soal pembenaran, yakni iman (Roma 3:21-31; 5:1,2). Setelah itu, untuk membuktikan tesisnya, Paulus menghadirkan Abraham dan Daud sebagai tokoh sentral dalam Yudaisme, yang mana Abraham dipandang sebagai bapak segala orang beriman dan dibenarkan karena iman (Roma 4:1-25); diulang kembali di Galatia 3. Perjumpaan Paulus dengan Kristus (pneumatic): Titik Kulminasi Religiusitas Pengalaman Kristen dalam kelahiran baru adalah pengalaman langsung dengan Allah sendiri – 2 Korintus 5:7. Perjumpaan antara orang berdosa dengan Kristus akan mengubah perspektif si berdosa dari jalan kematian kepada realitas kehidupan kekal; perjumpaan Paulus dengan Kristus di Damsyik mengubah perspektif Paulus. Paca perjumpaan Damsyik membawa perubahan dalam paradigma Paulus. Pengalaman ini “self authenticating (membuktikan sendiri akan keasliannya). Tak perlu bukti tambahan. Pengalaman ini mengatakan bahwa Allah yang benar dikenal hanya bila Ia mengambil inisiatif dan menyatakan diri-Nya kepada manusia (Matius 11:27)… kebenaran ditemukan hanya bila manusia menanggapi inisiatif Allah. Mungkin kita bertanya, bagaimana pandangan Paulus tentang kebenaran pra kisah Damsyik? Kemungkinan besar hanya sebatas syariat. Pasca kisah Damsyik, Paulus berada dalam perspektif yang baru. Ia dicelikkan melalui pengalaman tersebut sehingga ia dapat melihat nilai-nilai kebenaran Allah yang hidup di dalamnya. Datang melalui ketaatan akan hukum taurat. Nilai-nilai kebenaran itu datang dari atas melalui suatu perjumpaan pribadi dan bukan dari bawah. Berbicara soal mistisisme di sini, bukan berarti pengalaman menggantikan alkitab sebagai sumber utama epistemology religious. Tepat apa yang dikatakan Heath bahwa “orang Kristen tidak cukup hanya menunjukkan ayat-ayat yang membawa keselamatan kepada unbeliever, tetapi orang berdosa itu perlu bertobat (menanggapi kesaksian Roh Kudus atas firman itu). Pengalaman tidak menggantikan posisi otoritas, tetapi melengkapi posisi otoritas. Perjumpaan di Damsyik menjadi titik kulminasi atau puncak karier Paulus dalam agama lamanya dan titik perangkat keagamaan baru Paulus. Sebab para perjumpaan Damsyik, Paulus masih dalam keagmaan Yahudi yang ketat, kaku dan keras. Namun pascaperjumpaan itu, Paulus memasuki tahapan baru dalam keberagamaannya. Ia memasuki dimensi baru dalam perjalanan religiositasnya dan rupa-rupanya perjumpaan tersebut menjadi titik berangkat ajaran dan teologia Paulus. Di mana bukan lagi hukum-hukum agama Yahudi yang kaku dan keras menjadi titik tolak melainkan Yesus dan ajaran-Nya menjadi titik berangkatnya. Hal ini dapat dijumpai dalam surat-suratnya; Yesus menjadi pusat berita dan ajarannya, bukan legalitas dan yuridis Yahudi yang utama. Paulus adalah seorang pemikir besar pada zamannya. Bagaimana tidak, ia telah membuat sebuah rancang bangun ajaran Kristen yang berpusat pada Kristus sebagaimana yang ia alami di Damsyik. Bangunan pemikiran tersebut menarik minat banyak teolog pada pada masa lalu dan masa kini untuk menafsirkan pemikiran Paulus. Bangunan pemikiran Paulus merupakan bangunan yang besar, karena itu Ridderbos berkata bahwa pemikiran Paulus “begitu dalam dan rumit dalam membangun dan menjelaskan Injil Yesus Kristus sehingga tidak heran sering menimbulkan sejumlah besar penafsiran”. Karena itu membutuhkan pemikiran yang serius dan mendalam berkaitan dengan tulisan Paulus. Kedalaman berpikir Paulus dilatarbelakangi oleh factor keluarga dan studinya. Semangat Yudaisme begitu kuat dan mengakar sehingga “mereka berusaha menjaga keturunan mereka terhadap kontaminasi. Bahkan persahabatan dengan anak-anak kafir pun tidak disarankan.” Ini merupakan sinyalemen bahwa Paulus dibesarkan dalam keluarga yang ketat dalam keagamaan Yudais. Bukan hanya itu, Paulus pun bertumbuh dalam situasi keluarga yang multilinguis. Bahasa Aram, yang mana menjadi bahasa turunan dari bahasa Ibrani; “bahasa Yunani merupakan lingua franca” . Beberapa sumber menyebutkan bahwa Paulus muda, juga belajar lingua Latinam. John Pollok (The Apostle, A Lifde of Paul) seperti yang dikutip Swindoll, mengungkapkan bahwa: Menjelang ulang tahunnya yang ketiga belas, Paulus (muda) telah paham betul sejarah Yahudi, sajak-sajak Mazmur, dan kepustakaan para nabi… telinganya sangat terlatih terhadap keakuratan bunyi, dan daya tangkap otaknya dapat menyimpan apa yang di dengar dengan cepat dan tepat … ia layak untuk mengikuti pendidikan di perguruan tinggi. Dari keterangan di atas, kita bisa mulai merenung tentang Paulus muda. Bukan hanya soal factor keluarga dan budaya, tetapi factor pribadi juga turut mendukungnya. Factor pribadi berkaitan dengan kecakapan berpikir dan memikirkan kembali apa yang diketahuinya (bandingkan dengan tulisan-tulisannya dalam surat-surat). Setelah factor keluarga dan pribadi, factor pendidikan menjadikannya lebih matang. Hal ini berkaitan dengan masa studi yang ditempuhnyua dibawah bimbingan Gamaliel. Ia masuk dan belajar di sekolah yang ternama. Sebab hanya sekolah di mana ia berada yang dapat bersaing dengan “para pemimpin sekolah Shammai”. Di sekolah tersebut, Paulus tidak hanya belajar bagaimana brkhotbah. Melainkan juga belajar berdebat, menguraikan pikiran secara rinci juga belajar bagaimana “membela orang-orang yang melanggar hukum kudus dan ini menjadi syarat bila ingin menjadi rabi”. Selain itu, dapat juga kita menyisipkan kota kelahiran Paulus, Tarsus, sebagai salah satu factor yang berpengaruh terhadap kehidupan Paulus. Tarsus, A city of considerable importance, was almost one thousand years old Paul was born. The city is mentioned on an inscription made during the time of the Assyrian captivity of Cilicia. In the New Testament times it was a commercial center, located on the river Cyndus…. Sailors, merchants, and citizens of Tarsus mingled daily with one another as well as with the populace of central Asia Minor who came to Tarsus through the Cilician gates to do busines Bila Tarsus menjadi kota yang penting dan berpengaruh, pusat kota, pusat bisnus atau menjadi pintu gerbang bagi ekonomi, maka harus kita akui bahwa Tarsus menjadi begitu penting pada masa itu. Paulus juga merupakan salah satu rasul di antara rasul-rasul yang dapat menyebrangkan ajaran Tuhan Yesus secara luas dan mendalam. Bahkan bila hendak mencari fondasi teologi Kristen, tentu akan menemukan bahan yang cukup banyak dari rasul yang satu ini. Misalnya, Paulus membangun ajaran tentang pemilihan (election) dalam surat Roma 9:11-13, dan ajaran-ajaran lainnya dalam surat-suratnya. Melalui surat-suratnya, Paulus mengkohkan pemikiran dan ajaran Yesus sehingga tidak dapat dipungkiri lagi bahwa ajaran Yesus begitu kokoh dalam teologi atau pemikiran bahkan dalam spiritualitas Paulus. Meskipun para teolog memandang Paulus sebagai rasul dengan kedalaman berpikir dan rumit bukan tanpa alasan, sebab memang demikian adanya. Namun itu adalah kebenaran lain sebagai sisi insane dari Paulus. Sisi lainnya yang saya kira jauh lebih utama adalah Roma 1:1. Perhatikan “frasa hamba Yesus Kristus”. Dengan adanya frasa ini, Paulus menunjukkan bahwa semua tulisan termasuk kerasulannya bersumber pada Kristus, sebab itu Kristuslah yang memanggil dirinya menjadi rasul – kletos apostolos. Dengan demikian maka baik unsur insani Paulus maupun unsur Ilahi – Roh Kudus menjadi factor penting dalam memahami tulisan-tulisan Paulus. Langkah pertama untuk memahami pikiran Paulus berkaitan dengan surat-surat yang ditulisnya adalah dengan melakukan survey terhadap tulisan-tulisan Paulus. Kerumitan Paulus dalam berpikir inilah yang membuat Paulus menjadi tokoh unik dan nyentrik. Keunikan ini tentu seputar pimikirannya yang menimbulkan ragam dan multitafsir baik dari lawan-lawannya pada masa itu maupun bagi teolog-teolog masa kini. Bahkan boleh dibilang bukan hanya persoalan multitafsir melainkan juga tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Misalnya, tentang gnostisisme dan ketidakkonsistenan Paulus dan surat-suratnya. Kalau persoalan gnostisisme, mungkin dapat kita tanggapi secara singkat saja di sini bahwa gnostik baru muncul abad ke 2 bila dibandingkan dengan Injil-injil sehingga kemungkinan besar tidak ada pengutipan atau tidak adanya penggunaan sumber-sumber gnostik. Sedangkan berkembangnya ilmu-ilmu manusia (naturwesenscahften) memberi dampak terhadap metode tafsir yang digunakan para teolog dalam mendekati dan menafsirkan surat-surat Paulus. Memang perlu adanya suatu metode analisis dan tafsir yang jelas. Ini tentu berkaitan dengan hasil interpretasi alkitab (biblical result interpretatio); “…and necessarily carries with it distinct methods of analysis and interpretation”. Ada berbagai pendekatan yang digunakan dalam mencapai atau menghasilkan sebuah teologi. Pendekatan-pendekatan tersebut bervariatif. Misalnya F.C Bauer dari aliran Tubingen dengan konsep Paulus Hegelian, H.J. Holtzman dari aliran Liberal dengan konsep Paulus liberal, Paulus mitis dari aliran sejarah agama dan Paulus eksistensialis dari Bultmanian yang berakar pada aliran Heidegerian. Metode-metode pendekatan yang ditawarkan di atas merupakan metode-metode bentuk modern yang lebih berorientasi metode sains. We shall now look at some of the specifically churchly and theological efforts to synthesize religious and historical perspectives on the bible. Between the two world wars a revival of Protestant Reformation of Theology in modern form, known as neo-orthodoxy – championed by Karl Barth – provided an attractive way to harmonize the results of historical-critical biblical study with a ‘high’ view of biblical revelation. Ini merupakan suatu usaha untuk membuat sintesis antara metode filsafat dan studi alkitab. Rupa-rupanya ada usaha dari sarjana-sarjana alkitab untuk menggabungkan (sintesis) antara agama dan metode kritik sejarah dalam studi alkitab. Ini berarti ada juga upaya pengintegrasian interpretasi antara teologi dan filsafat dan ini menjadi ciri khas interpretasi modern. Kesimpulan Dari pemaparan tentang kehidupan religious Rasul Paulus, dapat disimpulkan bahwa setiap umat Tuhan yang memiliki pemahan yang benar tentang imannya yang ditunjukkan dalam kemanunggalingan hidup dengan Kristus maka akan membawa dampak terhadap nilai dan kualitas spiritual. Selanjutnya pemahaman yang benar tentang keimanan dapat membawa umat ke dalam perubahan sikap hidup atau yang dapat mewujud dalam pola laku keseharian di masyarakat seperti yang diteladankan Rasul Paulus. Bahwa tidak ada gap antara pemahaman dan pola laku keseharian orang percaya dalam masyarakat. ============== Dipersiapkan (draft) untuk Jurnal STULOS, STT Bandung Daftar Pustaka Aritonang, Jan, S. Berbagai Aliran di dalam dan di Sekitar Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012 Bakker, Anton dan Zubair A. C. Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2005. Boiliu Noh, Ibrahim, Penerapan Hermeneutika Fenomenologi pada Penelitian Teologi: Diskursus tentang Metode Ilmiah Teologi. Jurnal STULOS. 12 (2). 2012. 247-276 Boiliu, Noh, Ibrahim, Religiusitas Eksistensial Manusia. Jurnal TE DEUM. 2 (2). 2013. 247-261 Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2007 Copleston, Frederick, A History of Philosophy, Volume VII: Fichte to Nietzsche, London: Search Press, 1963 Cremers, Agus (Alih), Teori-teori Perkembangan Kepercayaan. Karya-karya Penting James W. Fowler, Yogyakarta: Kanisius, 1995. Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 2010. Gottwald, Norman K. The Hebrew Bible. A Social – Literary Introduction, USA: Fortress Press Philadelphia, 1985 Hardiman, Budi, F. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2007 Heath, Stanley, Filsafat Apologetika.Diktat, Surakarta: STT Berita Hidup, 2007. Paul. Robert T. Boyd, The Apostle, United States: World Publishing Panjaitan, Ostina, Manusia sebagai Eksistensi. Menurut Pemikiran Soren A. Kierkegaard, Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1996 Pret, K. dkk, Kamus Latin-Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1966 Ladd, George, Eldon, Teologi Perjanjian Baru, Bandung: Kalam Hidup, 2002 Ridderbos, Herman Paulus. Pemikiran Utama dan Theologianya, Surabaya: Momentum, 2008 Smith, Wilfred, C. Memburu Makna Agama, Bandung: Mizan, 2007 Swindoll, Charles R. Paulus, Jakarta: Nafiri Gabriel, 2004 vos, Geerhardus, Biblical Theology – Old and New Testament, Eerdams Publishing, 1996.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sosiologi Pendidikan (Ringkasan dari buku Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si)

Psikologi Pendidikan Kristen (Sentot Sadono)